Polemik Politik

Suksesnya Pilkada 2017 dan Kebanggaan Nasional

Oleh : Indah Lusita )*

 

Pada umumnya, Sikon pasca pelaksanaan Pilkada Serentak 2017 di 101 daerah masih kondusif dan aman termasuk di beberapa daerah yang Paslonnya mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilihan (PHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK) ataupun menggugat ketidaknetralan lembaga penyelenggara Pilkada di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), terutama terkait dengan profesionalitas penyelenggara pemilu.

Sejak November 2016, DKPP menerima sekitar 167 pengaduan dari 101 Pilkada serentak 2017.Banyaknya aduan ke DKPP karena sengketa Pilkada yang dapat diajukan ke MK telah dibatasi menyangkut objek yang dapat diajukan, yakni hanya terkait dengan perselisihan hasil pemilihan yang besarannya juga telah ditentukan.  Hal ini membuat banyak peserta Pilkada menggunakan objek lain yang menyangkut dugaan kecurangan atau netralitas dari penyelenggara Pilkada yang dianggap merugikan kepentingan Paslon dalam Pilkada.

Saat ini, lembaga penyelenggara Pilkada dan Pemda yang tidak ada sengketa PHP ke MK sudah melakukan rapat pleno penetapan Paslon terpilih. Untuk Paslon-Paslon yang mengajukan gugatan PHP ke MK, maka sidang dismissal PHP oleh MK sudah dilaksanakan sejak 3 April sampai 5 April 2017.

Sebelum sidang dismissal MK, banyak yang memprediksikan bahwa kalangan Paslon akan menolak hasil Pilkada Serentak 2017 karena karena Pilkada 2017 bagi Paslon dan Parpol adalah “battle field” dalam rangka menyusun landscape politik daerah dan nasional yang menguntungkan Parpol menghadapi Pileg dan Pilpres 2019. Ternyata prediksi tersebut meleset, sebab banyak kalangan Paslon yang dapat menerima keputusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut.

Pada umumnya, Paslon yang ditolak gugatannya tersebut oleh MK disebabkan karena gugatan mereka tidak memenuhi syarat seperti tertuang dalam Pasal 158 UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, peserta Pilkada bisa mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Peraturan MK No 1 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Dari 47 gugatan PHP yang masuk ke MK, dapat diprediksi ada 7 gugatan perselisihan hasil pemilihan (PHP) yang berpotensi diterima MK yaitu Pilgub Sulawesi Barat; Kabupaten Gayo Lues, Aceh; Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan; Kabupaten Bombana, Sultra; Kabupaten Maybrat, Papua Barat: Kota Salatiga, Jawa Tengah dan Kota Yogyakarta.

Jika Paslon yang menggugat akhirnya memenangkan gugatannya di MK, maka ada beberapa hal yang perlu diantisipasi antara lain : pertama, hasil sidang perselisihan hasil pemilihan (PHP) di MK memungkinkan terjadinya “pergeseran politik” atau perubahan pemenang Pilkada. Hal ini berpotensi menimbulkan gesekan atau bentrokan antar massa pendukung Paslon ataupun gejolak politik yang berpotensi menimbulkan instabilitas Kamtibmas.

Kedua, munculnya ketegangan politik antar Parpol pendukung akibat adanya perubahan pemenang Pilkada. Namun, ketegangan politik antar Parpol ini diperkirakan tidak akan berlanjut lama karena step by step akan terjadi aliansi strategis dan koalisi cair atau koalisi untuk mengejar tujuan/kepentingan pragmatis di daerah.

Ketiga, euforia kemenangan secara berlebihan yang dapat berekses menimbulkan bentrokan antar massa pendukung atau unjuk rasa anarkis.

Capaian penting dalam Pilkada 2017 adalah meningkatnya angka partisipasi pemilih.  Menurut KPU, ada sekitar 46 daerah yang tingkat partisipasi pemilih berada di bawah target 77,5% angka partisipasi pemilih.  Namun, data KPU RI juga menunjukan sekitar 55 daerah pelaksana Pilkada yang tingkat partisipasi pemilih di atas 77,5% atau melampaui target.  Hal ini sekali lagi merupakan peningkatan kesadaran politik masyarakat untuk menggunakan hak politiknya, sekaligus kinerja penyelenggara Pilkada dan kontestan yang mampu membangkitkan antusiasme politik masyarakat terhadap Pilkada.

 

Perbaikan

Sejumlah perbaikan baik aspek teknis penyelenggaraan, kinerja penyelenggara, maupun regulasi guna mensukseskan Pilkada serentak 2018.  Sejumlah usulan perbaikan itu antara lain: pertama,  terkait dengan penggunaan hak pilih apakah masih dapat dilakukan atau tidak ketika waktu pemungutan suara telah selesai pada pukul 13.00 WIB. Perlu aturan dan pemahaman yang seragam bagi penyelenggara Pemilu, terutama KPPS mengenai jaminan penggunaan hak pilih bagi pemilih terdaftar dengan memberikan kelonggaran waktu pencoblosan bagi pemilih yang sudah terdaftar untuk melaksanakan hajat politiknya sampai pukul 15.00 WIB. Hal ini penting untuk menghormati hak memilih rakyat dan menghindari fitnah politik bahwa pemerintah memberangus hak rakyat.

Kedua, perlu komunikasi dan koordinasi yang lebih baik antara stakeholders penyelenggara Pilkada, terutama antara Kemendagri, KPU, Bawaslu, DKPP dan Mahkamah Konstitusi dalam manajemen pelaksanaan Pilkada. Hal ini perlu dikemukakan, karena dalam Pilkada 2017 tampak jelas banyaknya terjadi perubahan regulasi yang menunjukkan KPU, Bawaslu, MK dan Kemendagri kurang berkoordinasi, seperti soal daerah yang tidak terdapat sengketa PHPU ke MK seharusnya dapat melaksanakan tahapan Pilkada selanjutnya, tanpa menunggu surat edaran MK terkait daerah-daerah tanpa gugatan PHPU.

Ketiga, perlu dipersiapkan daya dukung anggaran yang logis dan memadai sesuai dengan beban kerja dan tanggungjawab pelaksanaan Pilkada, terutama untuk kepentingan sosialisasi dan bimbingan teknis Pilkada bagi stakeholder terkait.

Keempat, perlu perbaikan dalam manajemen pengadaan dan distribusi surat suara dan formulir pendukungnya.  Hal ini guna mengantisipasi sejumlah permasalahan di lapangan terkait dengan kurangnya surat suara maupun formulir pendukungnya yang kerap memicu sengketa akibat tudingan kesengajaan maupun netralitas dari penyelenggara Pilkada yang berimplikasi pada akses pemilih untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk manajemen distribusi ke daerah-daerah hotspot yang medannya sulit dijangkau, seharusnya lebih diutamakan dengan pendataan DPT ataupun pencetakan kertas suara yang lebih dahulu dibandingkan kabupaten dan kota di wilayah Jawa-Bali.

Kelima, perlu adanya pakta integritas dan peningkatan komitemen dari para penyelenggara Pilkada untuk memastikan prinsip imparsialitas dan netralitas dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini terkait dengan masih banyaknya aduan ke DKPP yang objek permasalahannya terletak pada penyelenggara Pilkada itu sendiri.

Keenam, perlunya menerapkan punishment yang tegas bahkan sampai pemecatan kepada oknum ASN/PNS, TNI ataupun Polri yang langsung atau tidak langsung berpolitik praktis dalam Pilkada dengan membela salah satu Paslon. Untuk itu, perlu ada koordinasi antara Bawaslu, Kemendagri, Mabes TNI dan Mabes Polri terkait merealisasikannya.

Tujuh, perlunya sosialisasi terkait menjadi pemilih yang cerdas dalam Pilkada yaitu pemilih yang menentukan pilihannya bukan karena faktor primordialisme, SARA dan lain-lain melainkan karena yakin Paslon yang didukungnya akan mengedepankan merit system, memiliki kepemimpinan, berkualitas, berkarakter, berintegritas dan beretika.

 

)*  Penulis adalah pemerhati masalah politik. Tinggal di Bandung, Jawa Barat.

Show More

Related Articles

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih