Apa Benar Ada Kecurangan Dalam Pemilu?
Oleh : Rahmat Setiawan )*
Kabar mengejutkan datang dari Blitar Jawa Timur, dimana Saksi paslon nomor 02, menolak menandatangani berita acara KPU meski tidak menemukan adanya kecurangan. Setelah ditelisik alasannya adalah, hal tersebut merupakan instruksi resmi dari BPN Prabowo – Sandiaga pusat.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua Badan Pemenangan Nasiona (BPN) Prabowo – Sandiaga Kota Blitar. Tan Ngi Hing, usai mengirim hasil rekapitulasi KPU Kota Blitar ke KPU Jatim.
“Kami menolak untuk tanda tangan semua berita acara yang disampaikan KPU Kota Blitar. Mulai rekapitulasi tingkat kota dan Kecamatan (PPK) kami menolak tanda tangan,” tutur Tan Ngi Hing.
Menurut Tan, BPN menduga adanya kecurangan selama proses Pemilu 2019. Sehingga BPN sepakat untuk tidak menandatangani hasil rekapitulasii Pilpres. Pihaknya juga mengakui bahwa sampai hari ini, ia belum menerima laporan atau menemukan akan adanya kecurangan yang terjadi di Kota Blitar.
“Disini belum ditemukan kecurangan. Tapi kami tetap jalankan instruksi BPN Pusat, tidak akan tanda tangan semua hasil rekapitulasi pilpres,” tambahnya.
Dari berita tersebut tentu menunjukkan bahwa kubu 02 memainkan drama dengan isu yang sulit dibuktikan, bagaimana bisa mereka menginstruksikan saksi, namun tidak diperintahkan untuk menandatangai berita acara? Akankah ada upaya lanjutan sebagai penolakan akan kekalahan?
Sementara itu Ketua KPU Kota Blitar Setyo Budiono menanggapi hal tersebut dengan santai. Sebab, adanya saksi yang enggan menandatangani berita acara rekapitulasi tidak akan membatalkan sahnya hasil rekapitulasi.
“Bahkan kalau semua saksi itu tidak mau tanda tangan, kami tinggal beri keterangan di formulir keberatan saksi,” tutur Budi.
Sebelumnya, pada 2 Mei 2019, Abhan selaku Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengatakan bahwa pihaknya belum menemukan kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif di lapangan.
“Sampai saat ini belum, sampai hari ini belum ada. Yang khusus laporan dugaan TSM belum ada,” Ujar Abhan.
Ia mengatakan, saat ini memang ada temuan pelanggaran, khususnya dalam tahapan rekapitulasi suara. Ia mengatakan proses rekapitulasi suara di tingkat kecamatan beberapa kali diwarnai pelanggaran.
Namun, Bawaslu, melalui petugas pengawas pemilu (Panwaslu), berhasil menemukan pelanggaran tersebut dan selalu merekomendasikan penghitungan ulang kepada pantia pemungutan suara kecamatan (PPK).
Oleh karena itu, pihaknya mengatakan bahwa saat ini kerap terjadi penundaan proses penghitungan suara di kecamatan karena PPK harus mengulang proses rekapitulasi suara tersebut untuk menghindari kecurangan.
Bahkan sejauh ini Bawaslu belum menemukan atau mendapat laporan resmi tentang kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif. Bahkan laporan maupun temuan pelanggaran sebagian besar sudah ditindaklanjuti oleh Bawaslu.
Hal tersebut semakin menguatkan asumsi bahwa kecurangan yang digaungkan hanyalah upaya untuk mendelegitimasi KPU dan sebagai wujud ketidaksiapan untuk kalah dalam kontestasi politik.
Sebelumnya KPU telah melaporkan 3 akun sosial media kepada Bareskrim Polri, terkait dengan hoaks settingan server KPU di Singapura yang disebut memenangkan salah satu pasangan capres – cawapres.
Selain Itu KPU juga pernah diserang dengan hoax 7 kontainer yang berisi surat suara yang sudah tercoblos. Padahal informasi tersebut jelas hoaxnya.
Komisioner KPU DIY, Siti Ghoniatun pernah menyampaikan bahwa masyarakat perlu berfikir cerdas dan melakukan tabayyun dalam memilah dan memilih informasi agar mampu terwujud pemilu yang berintegritas.
Siti mengungkapkan bahwa menyebarkan berita yang tidak benar alias hoax ada ancaman pidananya, dan juga itu tidak baik karena membuat keresahan dan kegaduhan di lingkungan masyarakat.
Pasalnya dalam masa Pemilu, suhu politik di kalangan penyelenggara negara hingga akar rumput rakyat kecil cenderung naik karena terpecahnya dukungan politis yang semakin terpolarisasi.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Didin Hafifudin menambahkan “Dalam perbedaan, Umat Islam harus tetap menjaga Ukhuwah Islamiyah, jangan sampai kita terpecah,” Ujarnya.
Anjuran tersebut tentu tidaklah tanpa alasan, hal tersebut didasari atas keprihatinan beberapa kubu yang menggunakan berbagai ancaman yang digunakan untuk menghina atau menjelekkan satu sama lain.
Tentu akan sangat tidak etis apabila hanya karena agenda 5 tahunan, keharmonisan keluargaan antar sesama menjadi remuk. Dalam hal ini Dewan Pertimbangan MUI menyerukan warga, khususnya umat Islam untuk tidak terprovokasi oleh berita yang tidak benar.
)* Penulis adalah Pengamat politik, tinggal di Jakarta.