Berkaca dari Toleransi Lintas Agama di Bali
Oleh : Rika Prasatya *
Indonesia merupakan negara yang memiliki pelbagai banyak keberagaman, suku, bahasa, agama hingga keyakinan spiritual lainnya. Keberagaman dan praktik toleransi tentu dapat dilihat di beberapa tempat, utamanya pada perayaan hari besar keagamaan. Seperti di Bali, ketika Hari Raya Nyepi. Toleransi beragama di Bali cukup tinggi. Ini terlihat dari desa adat Tuban yang berada di Kabupaten Badung, Bali.
Sejumlah warga non – Hindu di desa ini turut berpartisipasi menjaga keheningan dan kedamaian saat Nyepi. Mulai dari menjadi pecalang alias polisi adat, hingga mengumandangkan azan tanpa pengeras suara.
“Toleransi ini telah lama kami jaga, penduduk di desa adat Tuban itu juga sebagian besar adalah warga non – Hindu dengan perbandingan 1 : 4, dengan jumlah penduduk 18 ribu dan luas wilayah 3000. Kami ingin menunjukkan toleransi ini kepada semua pihak. Di Bali, ada toleransi yang tinggi,” ujar Bendesa adat Tuban, I Wayan Mendra.
Kaum muslimin juga mengumandangkan azan tanpa pengeras suara, tampak pula sejumlah pecalang, termasuk Pecalang beragama Kristen, Agus Andarjanus berkeliling memantau keamanan di sekitar masjid yang berada di Jalan Raya Tuban pukul 19.00 WITA. Hanya bermodalkan senter dengan penerangan yang rendah, pecalang berkeliling di kawasan itu. Saat tiba di masjid, tampak sejumlah umat Muslim tengah melakukan shalat. Usai shalat, para pecalang disambut oleh dua pengurus masjid. Lalu, tampak mereka berdiskusi. Tak lama setelah itu, pecalang meninggalkan lokasi.
“Dasarnya kami memberikan adalah negara menjamin beribadah sesuai dengan keyakinannya, sesuai pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Mereka memberikan toleransi besar maka kami juga wajib memberikan toleransi,” kata Mendra.
Sedangkan, dari 135 pecalang yang menjaga keamanan di Desa Adat Tuban, ada 4 pecalang non – Hindu. Mereka adalah Agus Andarjanus yang beragama Kristen, I Wayan Toyib, Triono, dan Haji Sidik yang beragama Islam.
“Masalah keamanan masa Nyepi bukan hanya masalah kami, tetapi masalah keamanan seluruh warga Desa Adat Tuban,” jelas Mendra soal pecalang itu.
Pecalang non – Hindu ini sebenarnya direkrut dari tim Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang sudah cukup lama mengabdi, telah menikah dan dinilai mampu bersikap dewasa. Di tempat yang sama, Toyib menceritakan sudah menjadi pecalang sejak tahun 1999. Ia merupakan generasi pertama pecalang non – Hindu. Toyib mengaku ikhlas berjaga saat Nyepi. Sebab, lelaki asal Bugis, Makasar, ini telah mencintai Bali dan seluruh hal yang berkaitan dengan Bali. Apalagi, ia memang sudah sejak lahir berada di Bali.
“Tuhan itu satu, kenapa dibuat gaduh, agamaku agamaku, agamamu agamamu. Nenek saya Hindu, menikah dengan muslim lalu jadi mualaf. Lahir bapak, ambil istri orang Hindu, jadi mualaf lagi. Ya jadi seperti tidak terelakkan. Keluarga Islam pasti punya saudara di Hindu, demikian sebaliknya,” kata Toyib.
Sebaliknya Masyarakat Bali tidak mempermasalahkan hadirnya daging sapi di pasar – pasar, maupun di restoran, selama ini. Sehingga, dalam konteks kurban, ini bukan konteks baru dan sudah lazim. Sapi merupakan hewan suci umat Hindu, tapi kurban sapi saat Idul Adha tak pernah jadi masalah di Bali. Umat Muslim berbagi kurban kepada umat Hindu dan umat Hindu ikut jadi panaitianya.
Tak hanya itu, setiap panitia kurban di Denpasar memiliki kebijakan sendiri – sendiri dalam mendistribusikan daging kurban. Bahkan, beberapa kelompok panitia membagikan daging kurban kepada warga yang kurang mampu tanpa melihat perbedaan keyakinan yang ada. Dalam mendistribusikan (daging kurban) termasuk saudara – saudara yang beragama lain, biasanya juga dibagikan. Di beberapa tempat, ada umat beragama lain ikut nimbrung dalam pembagiannya sebagai panitia.
Idul Adha pun dirasakan Mustafa selaku panitia sebagai perayaan yang istimewa, karena digelar dengan semangat kebersamaan yang lebih kuat. Ini karena sejumlah masyarakat muslim di Denpasar selalu mengajak tetangganya tanpa melihat apa agamanya untuk menyantap sajian Idul Adha bersama.
Di sisi lain, kegiatan seputar Ramadhan masih berjejak. Adapun penganut agama Islam di Bali berjumlah 520 ribu, sedangkan umat Hindu mencapai 3,2 juta jiwa dari total 3,9 juta penduduk Bali. Beberapa kampung muslim hingga kini bisa ditemukan di Pulau Dewata. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementrian Agama RI, tahun lalu mengisahkan perjalanan mereka ke kantong – kantong warga muslim di Bali.
Misalnya Kampung Loloan, Jembrana. Kampung berjarak sekitar 90 kilometer dari Kota Denpasar ini, sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai pedagang dan nelayan. Tak heran, penduduk daerah ini bermula dari kedatangan sejumlah pasukan Bugis sekitar empat abad silam.
Kampung Loloan dikenal sebagai pemukiman umat Islam terbesar di Kabupaten Jembrana. Hubungan baik antara penganut Islam dan Hindu di Bali yang telah terjalin sejak lama, menjadi penyebab penguasa Jembrana saat itu, I Gusti Arya Pancoran, mengizinkan kelompok Bugis – Melayu menempati daerah Loloan.
Kisah lain bisa ditemukan di Kampung Pegayaman, Buleleng. Kehidupan sehari – hari masyarakat muslim disini, tak ubahnya kehidupan di Bali pada umumnya. Hanya bentuk rumah ibadah yang jelas berbeda. Inilah keunikannya, simbol – simbol adat Bali seberti Subak, Seka atau Banjar, tetap hidup dengan baik di lingkungan kelompok muslim.
Kalau di Bali saja bisa seperti itu, kenapa di daerah lain tidak? Dari awal berdirinya, Indonesia sudah terdiri dari berbagai suku, adat, budaya, dan agama. Tak elok rasanya jika sekarang ada yang masih memaksakan bahwa hanya agamanya-lah yang paling benar dan harus ditegakkan di bumi Indonesia. Agamaku agamaku, agamamu agamamu. Mari kita jaga kebhinekaan Indonesia sebagai warisan luhur para pendahulu kita.
)* Penulis adalah Kontributor Studi Lembaga Informasi Strategis Indonesia (LSISI)