Charles Honoris : “Hard Power Ala Prabowo Sudah Usang”
Oleh: Windy Ananta )*
Dalam pelaksanaan debat ke–empat, Prabowo Subianto menyatakan tidak percaya dengan kemampuan bangsa Indonesia dalam kancah internasional. Sikap yang ditunjukkan saat debat semalam itu mendapat sorotan dari Charles Honoris yang menyayangkan pernyataan dari Capres nomor urut 02 tersebut.
“Saya sedih dan kecewa, Prabowo tidak percaya diri pada kemampuan bangsa sendiri. Kata Prabowo kita dianggap Nice Guy dalam diplomasi, padahal faktanya kita sangat dihormati dalam pergaulan internasional,” tutur Politikus PDI-P, Charles Honoris.
Dirinya mengatakan, Indonesia memiliki peran penting dalam kancah internasional, saat ini sudah semakin diakui kiprahnya, baik perannya sebagai salah satu negara muslim terbesar di dunia, maupun dalam mewujudkan perdamaian dunia.
“Seperti kata Presiden Jokowi, RI memainkan peran sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia. Misalnya, peran RI yang terus konsisten memperjuangkan kemerdekaan dan membantu rakyat Palestina, dan juga peran Indonesia dalam meredakan konflik di Rkahine State, Myanmar, sebagaimana diminta oleh PBB,” ujarnya.
Bahkan diplomasi ekonomi Indonesia dibawah pemerintahan Jokowi juga menorehkan pencapaian yang mengagumkan. Indonesia telah mampu memberi kontribusi bagi perekonomian negara.
“Misalnya ekspor 250 kereta api oleh PT INKA ke Bangladesh dengan nilai kontrak sekitar USD 100,9 juta dan berikutnya Filipina yang sudah meneken kontrak sebesar USD 52,8 juta. Belum lagi ekspor bus yang juga mulai dilakukan ke negara tetangga,” ujar Charles.
“Keberhasilan Presiden Jokowi dalam diplomasi internasional juga dibuktikan dengan kembali terpilihnya RI menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan PBB. Ini merupakan salah satu bentuk pengakuan internasional terhadap peran dan kontribusi diplomasi Indonesia di era Presiden Jokowi,” tambah Charles.
Oleh karena itu, dalam debat Capres ke – empat lalu menunjukkan perbedaan sikap dan pendekatan dalam hubungan intenational yang mencolok antara Jokowi dan Prabowo. Jokowi lebih mengedepankan diplomasi dan multilateralisme. Sedangkan, Prabowo mengedepankan hard power dan militerisme.
Padahal pendekatan hard power dan militerisme cenderung digunakan oleh negara– negara diktator dan fasis seperti Nazi Jerman dan sebagainya. Tentu pendekatan diplomasi hard power ini sudah usang alias ketinggalan zaman.
Hard Power merupakan bentuk langsung dari pendayagunaan kekuatan, baik dengan pola pendekatan coercive (memaksa), maupun reward (pemberian hadiah). Pada prinsipnya hard power memiliki karakter yang transaksional dan perpaduan antara kemampuan organisatoris (manajemen kekuatan dan informasi) serta machiavelis (kemampuan untuk mengancam serta membangun koalisi kemenangan.
Tidak semua Hard Power segera mendatangkan apa yang dibutuhkan. Kadangkala hard power yang tidak mampu membuat lawannya menuruti apa yang diinginkan malah akan memperpanjang proses dalam mencapai kepentingan tersebut, sehingga dapat memicu terjadinya kekerasan lain.
Sedangkan soft power berbeda dengan pendekatan hard power yang transaksional, pendekatan soft power lebih berkarakter inspirasional yaitu kekuatan menarik orang lain dengan kekuatan kecerdasan emosional seperti membangun hubungan atau ikatan yang erat melalui kharisma, komunikasi yang persuasif, daya tarik ideologi, visioner, serta pengaruh budaya, sehingga membuat orang lain terpengaruh.
Sebelumnya, dalam debat Pilpres keempat, Prabowo menyoroti soal diplomasi. Menurut Prabowo, diplomasi punya inti ketimbang sekadar bertemu lalu senyum – senyum. Dia tidak mau Indonesia hanya menjadi Nice Guy atau Cuma senyum – senyum dengan negara lain.
“Tetapi diplomasi tidak bisa hanya dengan menjadi mediator, itu penting tetapi ujungnya diplomasi itu harus menjadi bagian dari upaya mempertahankan kepentingan nasional inti sebuah negara, dan untuk itulah diplomasi hanya bisa dan harus di back up oleh kekuatan,” kata Prabowo dalam debat ke–empat Pilpres 2019.
Soft power merupakan sumber daya nasional yang unggul sebagai kemampuan negara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi negara lain demi mencapai hasil yang diinginkan atau kepentingannya. Soft Power ini dapat diwujudkan dalam instrumen dan teknik kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh suatu negara.
Pendekatan soft power menurut Dr Musni Umar selaku anggota forum Eminet Person Group (EPG) mengatakan bahwa, pendekatan soft power akan melahirkan persaudaraan sejati, yang sama – sama menenggang perasaan dan tidak saling menyakiti.
Indonesia memiliki aset yang bisa dimanfaatkan sebagai elemen dari soft power, yaitu demokrasi, Islam Moderat, dan Pluralistik di Indonesia yang sangat tinggi.
)* Alumni Universitas Jayabaya