Hati – Hati Seruan People Power
Oleh : Rahmat Kartolo*
People power bisa diartikan sebagai pengerahan kekuatan masa untuk mengganggu bahkan meruntuhkan wacana atau dominasi sebuah rezim kekuasaan yang telah mapan. Istilah people power sendiri mulai mendunia ketika rangkaian demonstrasi besar terjadi di Filipina, 33 tahun yang lalu dan berujung pada kejatuhan Presiden Ferdinand Marcos.
Dimana sekitar 2 juta orang turung ke jalan menuntut berakhirnya pemerintahan Ferdinan Marcos yang sudah berkuasa selama 21 tahun. Kediktatoran. Korupsi. Pelanggaran HAM, merupakan faktor yang mengakumulasi kejenuhan rakyat Filiphina dan diluapkan dalam bentuk gerakan people power atau dikenal sebagai Revolusi Kuning.
Selain itu Perang Sipil Suriah yang berlangsung dari 2011 sampai saat ini juga diawali dari gerakan people power yang berakhir runyam. Ketika itu massa pro-demokrasi menuntut reformasi, kebebasan, pengakhiran korupsi dan meminta Bashar Al Assad turun pada Maret 2011.
Di Venezuela, kesabaran penduduk terus diuji, dimana aksi masa bertajuk Operation Liberty. Meminta massa kembali turun ke jalan, dimana tujuan dari operasi tersebut adalah untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Nicolas Maduro.
Aksi massa tersebut disebabkan oleh seruan masyarakat yang mengeluhkan mati lampu dan kekurangan air bersih yang membuat sebagian penduduk frustrasi. Bahkan untuk urusan buang air saja, mereka kesusahan karena tidak ada air untuk menyiram toilet.
Lazimnya People power adalah gerakan massa non-kekerasan untuk menumbangkan pemerintahan yang diktator otoriter. Sebelumnya pada gelaran Aksi 313 Mantan Ketua MPR Amien Rais sempat mengatakan “Kalau sampai nanti terjadi kecurangan, sifatnya terukur, sistematis dan masif, ada bukti, itu kita enggak akan ke MK, enggak ada gunanya tapi kita langsung people power,” Ujar Amien Rais.
Menurut Politikus PAN tersebut, people power sah dilakukan apabila mereka menemukan kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Amien memastikan bahwa jika nantinya massa digerakkan, situasi masih tetap damai.
Hal ini tentu berlebihan, karena Indonesia saat ini sangat berbeda dengan Indonesia di Tahun 1997 – 1998, dimana saat itu rakyat telah muak dengan rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Pakar Hukum Indriyanto Seno, menghimbau agar semua pihak berhati – hati dalam melontarkan pernyataan terutama terkait dengan upaya delegitimasi penyelenggaraa pemilu dan upaya people power. Sebab, pernyataan – pernyataan itu memiliki implikasi hukum.
Pihaknya juga menyatakan bahwa perbuatan yang mengarah kepada keberatan yang disalurkan melalui mekanisme yuridis seperti pengerahan kekuatan massa (people power) yang bertujuan untuk mendelegitimasi KPU maupun penyelenggaraan pemilu jelas melanggar UU Pemilu.
“Apabila perbuatan dan gerakan itu mengarah pada revolusi kekuasaan yang sah adalah langkah inkonstitusional yang melanggar KUHP.” Kata Indriyanto.
Dirinya juga menyarankan agar sebaiknya semua pihak menahan diri. Selain itu, diharapkan keberatan dilakukan sesuai dengan regulasi perundangan pemilu dan undang – undang terkait lainnya.
Semua keberatan atas adanya dugaan kecurangan atau kekurangan terhadap metode quick count maupun real count haruslah disalurkan melalui mekanisme hukum dan tetap berbasis due process of law.
Pernyataan – pernyataan terkait people power di media sosial juga memiliki dampak hukum. Bahkan akhir – akhir ini sarana melalui elektronik yang berisi konten ancaman kekerasan terhadap kelembagaan negara formal dan isu SARA jelas melanggar UU ITE.
Seruan People Power juga ditanggapi oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dimana Jenderal Tito Karnavian mengancam akan menggunakan pasal terkait tindak pidana makar saat menyinggung gerakan massa atau people power yang diserukan sejumlah pihak pasca penyelenggaraan Pemlihan Umum.
Menurutnya, aturan yang tertuang dalam pasal 107 Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP) itu bisa digunakan apabila gerakan peopel power mengandung unsur ingin menjatuhkan pemerintahan.
“Kalau seandainya ada ajakan untuk pakai people power, itu mobilsasi umum untuk menyampaikan pendapat, harus melalui mekanisme ini. Kalau tidak menggunakan mekanisme ini, apalagi kalau ada bahasa akan menjatuhkan pemerintah, itu pasal 107 KUHP jelas,” tutur Tito
Padahal dalam Pemilu, MA memiliki kewenangan untun menangani pelanggaran administrasi dan pidana sebelun haru hari pencoblosan. Sedangkan penyelesaian sengketa hasil pemilu dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK).
)* Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Politik