Keluarga Sandiaga Uno Alami Gangguan Jiwa
Oleh : Ahmad Siknun )*
Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengaku banyak anggota keluarganya yang mengalami gangguan kejiwaan. Dirinya pun tak merasa malu mengungkapkan hal tersebut demi memperbaiki pemahaman masyarakat dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
“Anggota keluarga saya banyak yang mengalami depresi, stress dan lain sebagainya,” ujar Sandiaga.
Pihaknya mengatakan bahwa keterbukaannya itu bukan kali pertama. Ia menyampaikan gangguan jiwa adalah realitas dalam kehidupan metropolis. “Diskursus kita disini kan mengangkat orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sebagai fenomena yang biasa.
Sandiaga Uno merasa prihatin karena masih banyak keluarga yang menganggap gangguan kejiwaan sebagai aib. Mereka pun memilih untuk menyembunyikan anggota keluarganya yang mengalami gangguan kejiwaan. Terlebih, masyarakat juga masih menjadikannya sebagai bahan tertawaan. Kondisi tersebut menjadi salah satu kendala yang membuat orang dengan gangguan kejiwaan sulit dijangkau. Dinas Kesehatan DKI bahkan tak memiliki data sebaran orang dengan gangguan kejiwaan.
Sandiaga mengatakan masyarakat tak seharusnya menganggap hal itu sebagai stigma. Ia menyayangkan masih ada 10 persen orang yang dengan gangguan jiwa di DKI yang belum mendapatkan rawat inap. Bahkan mereka sama sekali tidak mendapatkan perawatan, apalagi obat.
“Bayangkan kalau orang nggak minum obat, sakit itu kan lama. Dampaknya akan lebih dahsyat lagi. Jadi harus dikasih obat. Harus dikasih treatment,” ujarnya.
Pada kesempatan yang lain, Sandiaga Uno juga sempat menceritakan bagaimana ayahnya, Razif Halik Uno yang sering dipanggil Henk Uno, dengan kendala psikologis yang dialaminya tetap bisa mendukung istrinya, Mien Uno dan mendidik anak – anaknya, Indra dan Sandiaga Uno menjadi anak yang berhasil. Sandi menyampaikan cerita tersebut pada acara Research Capacity Building Towards the Implementation of National Institute of Mental Health di Kementrian Kesehatan RI.
“Ayah saya dari awal sudah bilang tidak memiliki fighting spirit, Bapak saya hampir menyerah. Sehingga anak dan istri menjadi pilar dalam keluarga,” ujar Sandi.
Sandiaga mengatakan bahwa setidaknya lebih dari 20% warga DKI yang sedikit mengalami masalah kesehatan jiwa dari tingkat sangat ringan hingga berat. Data tersebut didapat Sandi dari RS Soeharto Heerdjan di Grogol, Jakarta Barat.
Sandi berharap ketegaran ayahnya bisa menjadi contoh bagi keluarga Indonesia yang memiliki anggota keluarga dengan kendala psikologis. Kisah hidup ayah Sandiaga, Henk uno sudah dimasukkan ke dalam sebuah buku yang berjugul “Uno untuk generasi yang lebih baik”.
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) dari Kementrian Kesehatan, penyandang disabilitas psikososial di Indonesia pada 2013 mencapai 14 juta orang. Para penderita ini diukur dari gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala – gejala depresi dan kecemasan. Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia persentasenya 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.
Dari data lainnya, Kementrian Kesehatan menunjukkan bahwa hampir 90% orang tidak bisa mengakses layanan kesehatan jiwa. Negara berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa ini hanya memiliki 48 rumah sakit jiwa. Lebih dari separuh jumlah rumah sajit jiwa itu hanya berada di empat provinsi dari keseluruhan 34 provinsi.
Stigma, diskriminasi dan ketidakmampuan untuk mengenali gangguan jiwa masih menjadi hambatan besar bagi para penyandang disabilitas psikososial.
Mardiana selaku Sekretaris Yayasan Galuh Nina mengungkapkan, bahwa selama ini dia bekerja di yayasan tersebut, ada sekitar 50 orang yang ditolak keluarganya untuk hidup bersama kembali. Sebagian besar dari mereka kini menjadi relawan di panti tersebut. Menurut Mardiana, kebanyakan keluarga ternyata tidak siap. Sebabnya dari berbagai faktor, dari keterpurukan ekonomi sampai stigma negatif lingkungan.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementrian Kesehatan RI Anung Sugihantono mengatakan, persoalan kesehatan jiwa masih dianggap kalah serius ketimbang kesehatan fisik.
“Seringkali persepsi sehat – sakit hanya diartikan apabila kita tidak mampu melakukan sesuatu,” tuturnya.
Padahal menurutnya kesehatan jiwa sama halnya dengan kesehatan fisik. Apabila tidak ditangani, gangguan kejiwaan dapat mengancam kehidupan seseorang. Oleh sebab itu persoalan kesehatan jiwa tidak bisa dianggap sepele. Perlu dicegah dan dikendalikan dengan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Perlu adanya upaya kesehatan secara komprehensif dengan mendorong perlibatan serta tanggungg jawab bersama semua aktor pembangunan secara inklusi, tidak hanya berbasis fasilitas kesehatan, individu dan keluarga, namun juga komunitas di dalam satu wilayah.
Ahli Psikologi Sosial Juneman Abraham menyatakan bahwa pendekatan psikologis klinis saja tak cukup untuk emmbedah fenomena ini. Perlu ada eksplorasi lanjut melalui pendekatan dari disiplin ilmu psikologi sosial sebab kesehatan jiwa nyatanya juga menyangkut dimensi sosial – budaya.
Junemam menyoroti kehidupan warga kota yang makin teraliensi antara satu dengan yang lain, ikatan atau kohesi sosialnya mengendor, lalu meningkatkan gejala depresi baik yang ringan maupun berat. Kondisi inilah yang buruk bagi kesehatan Jiwa. Oleh karena itu ruang publik yang mewadahi pertemuan riil antar manusia dan mengembalikan kohesi yang kendor bisa dijadikan salah satu solusi untuk mengatasi masalah tentang kesehatan jiwa.
Beberapa riset menyebutkan bahwa hubungan sosial langsung yang meningkat secara kuantitas dan kualitas mampu membuat kondisi mental warga kota menjadi lebih stabil, dan menjauhkannya dari rasa depresi yang berlebihan.
)* Penulis adalah Mahasiswa Universitas Khairun