Kerusuhan 22 Mei, Murni Gerakan Inkonstitusional
Oleh : Ahmad Sulaiman )*
Setelah pengumuman resmi dilakukan oleh KPU, segerombolan massa melakukan aksi unjuk rasa di beberapa titik sebagai wujud penolakan terhadap hasil Pilpres 2019 yang memenangkan paslon nomor 01 Joko Widodo.
Aksi tersebut terbilang anarkis, hingga aparat kepolisian terpaksa menangkap beberapa provokator dan menembakkan gas air mata. Setelah diselidiki lebih lanjut, sebagian peserta aksi yang tertangkap merupakan seorang pengangguran dengan tatto di badan.
Hal ini tentu tidak mencerminkan Islam yang cinta damai, segala bentuk provokasi yang ada lantas membuat para simpatisan pendukung 02 merasa bahwa aparat kepolisian begitu kejam, nyatanya para peserta aksi enggan membubarkan diri padahal perijinan unjuk rasa telah melampaui waktu yang ditetapkan.
Sebelumnya Kepala Staf Kepresidenan mengatakan bahwa aksi 22 Mei tersebut akan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu dan untuk kepentingan kelompok tersebut saja. Dirinya juga menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak perlu berbondong – bondong, berkumpul pada sebuah tempat tertentu.
Pada Sabtu 18 Mei 2019, Polisi telah menangkap 68 terduga teroris yang mana 29 diantaranya hendak turut serta dalam aksi kerusuhan 22 Mei. Bahkan kepolisian juga telah memutarkan video berisi pengakuan seseorang yang disebut sebagai anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Dalam video yang diputar di Mabes Polri tersebut seseorang berinisial DY mengaku sudah menyiapkan teror 22 Mei. Pengakuan tersebut menyebutkan bahwa DY dan beberapa ikhwan hendak melakukan amaliyah pada 22 Mei dengan menggunakan bom yang telah dirangkan dengan menggunakan remote control.
Tentu kita semua tahu, bahwa terorisme bukan Islam, karena sejatinya Islam merupakan agama yang cinta damai, bahkan pernah dikisahkan Nabi Muhammad SAW, pernah menyuapi seorang Yahudi yang pernah menghina dirinya.
Bisa dibayangkan, jika aksi kerusuhan tersebut dimanfaatkan oleh segelintir teroris, tentu akan menimbulkan kekacauan yang lebih besar. Padahal pihak BPN Prabowo – Sandiaga, Andre Rosiade telah meminta kepada para pendukung paslon 02 untuk menjaga ketertiban dan tidak bertindak anarkis.
Namun ajakan tersebut tampaknya tidak didengar oleh beberapa simpatisan yang telah menjadi pendukung fanatik Prabowo – Sandi, hingga akhirnya aksi yang digelar meninggalkan korban yang tidak sedikit.
Ketua PBNU Said Aqil Siraj, turut prihatin atas adanya kericuhan tersebut, apalagi aksi tersebut terjadi di bulan suci Ramadhan. Dirinyapun berharap agar semua pihak dapat merenung dan mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Ia juga mengatakan, bahayanya jika agama tidak dipahami dengan benar. “Agama tidak dilakukan dengan tafaquh tahu – tahu menjadi ulama menjadi ustaz. Bahkan artis yang baru tobat langsung menyalahkan yang lain. Dikira dia sudah mencapai maqom (derajat) yang tinggi, sudah seratus persen shalih, shalihah, maka yang lain ini (terkait kerusuhan 22 Mei) setengah Islam Setengah Kafir barangkali kita ini yang tobat itu, yang artis, yang tadinya buka aurat langsung tutup aurat, hijrah, sangat berbahaya kalau dibiarkan,” tuturnya.
Menurut Said, Ulama juga harus menguasai dan mumpuni dalam bidangnya. Ulama haruslah paham Al – Qur’an dan tafsirnya, sehingga nantinya bisa memberikan pengarahan dan bimbingan kepada umat agar tetap di jalan yang benar. Ulama harus hadir di tengah – tengah masyarakat.
Dirinya juga menegaskan, bahwa perbedaan yang ada haruslah diselesaikan dengan baik dan bijaksana. Cara – cara yang tidak bijaksana haruslah dihindari.
Sebenarnya, massa aksi sempat berlangsung dengan tertib, namun massa perusuh yang datang belakangan ternyata memancing keonaran. Dampaknya sebuah warung kopi yang berada di Jl Wahid Hasyim telah menjadi sasaran penjarahan massa perusuh.
Pemilik warung kopi tersebut bernama Rajab. Dirinya menutup warungnya pada pukul 22.00 karena ingin beristirahat di rumah. Namun sepertinya istirahat Rajab menjadi mimpi buruk ketika dirinya mengetahui bahwa warungnya dijarah massa.
Cool Box dan uang yang ada di warungya pun dibobol. Barang dagangan yang dijarah antara lain rokok dan makanan. Dirinya menaksir kerugian yang dialaminya menyentuh angka Rp 50 juta.
Jika aksi tersebut dilakukan atas nama Jihad, tentu hal tersebut sangatlah kontradiktif jika kita mengetahui dampak kerusakan yang terjadi pada kerusuhan yang terjadi pada 22 Mei lalu.
)* Penulis adalah pengamat sosial keagamaan