Legowo, Keputusan Hasil Pemilu adalah Mutlak
Oleh : Rian Maulana )*
Pemilu merupakan proses demokrasi yang berulang setiap lima tahun. Karenanya, semua pihak diharapkan bisa menerima apapun hasil yang didapat.
Belum lewat seminggu pasca Pemilu, Prabowo telah menegaskan bahwa dirinya memenangkan Pilpres 2019 berdasarkan hasil ‘real count’ dengan perolehan suara 62 persen.
Bagaimanapun juga, setiap orang yang turut serta dalam kontes demokrasi haruslah siap menang dan siap kalah. Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, meminta kepada semua calon yang maju menerima dengan ikhlas hasil pemilu 2019. Termasuk kedua Paslon di Pilpres 2019 yang berebut suara rakyat.
“Jadi saya kira menang kalah itu sesuatu yang wajar karena pilihan publik itu yang menumbuhkan suara dipilih atau tidak. Saya kira ikhlas saja,” ujar Sultan HB X.
Bagi para calon legislatif maupun Capres dan Cawapres, keunggulan direkapitulasi KPU-lah yang pantas disebut kemenangan. Keunggulan dihitung cepat (Quick Count) hanyalah indikasi kemenangan. Meski dengan menggunakan teknologi muktahir yang semakin cepat dan akurat, legitimasi tetaplah milik lembaga negara.
Dirinya juga mengingatkan bahwa penentu suara terbanyak di Pemilu adalah rakyat. Oleh karenanya, dirinya juga menghimbau kepada siapapun calon yang berebut kursi, haruslah menerima keputusan rakyat.
Sultan juga menganggap bahwa people power merupakan sesuatu yang tidak perlu dalam merespon hasil Pemilu.
“Ndak lah (people power),” Ya harapan saya ya Indonesia lebih baik sambung Sultan.
Pemerhati politik Hendri Satrio dari Universitas Paramadina menilai, bahwa hasil survei pada sejumlah penelitian bisa saja meleset dari hasil akhir karena adanya fenomena silent voters yang merahasiakan pilihannya.
Keberadaan responden yang merahasiakan pilihannya itu, tentu tidak dapat diukur oleh lembaga – lembaga survei sehingga hasil akhir pemilu bisa jauh berbeda dari hasil survei.
Kondisi tersebutlah yang sempat mengakibatkan hasil survei pada pemilihan kepala daerah beberapa meleset dari hasil penghitungan manual KPU.
Hal ini tentu harus diperhatikan oleh peserta Pemilu, agar tidak terlena dengan selisih 2 digit, jika swing voter menunjukkan suaranya pada pemilu, maka hasil akhirnya bisa saja berbeda.
Dalam kesempatan berbeda, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor mengatakan bahwa masyarakat harus siap menerima hasil pemilihan umum siapapun yang menang dalam pesta demokrasi tahun ini.
“Saya siap menerima apapun hasil dari Pemilu 2019, begitu juga rakyat dan semua masyarakat Indonesia, harus bisa menerima apapun hasilnya,” tutur Sahbirin.
Pengamat Politik Ujang Komarudin juga berharap agar semua pihak menggunakan kepala dingin dalam menyikapi hasil Pemilu 2019. Kedua pasangan Capres – Cawapres maupun tim pemenangan, diminta untuk legowo dan menerima apapun hasil Pilpres 2019.
“Siapapun yang menang nanti, baik incumben atau penantang tidak boleh ada yang melakukan tindakan anarkistis. Apalagi menyalahkan yang menang,” tukas Ujang.
Bagi pihak yang menang juga sebaiknya tidak boleh jemawa. Karena kalah dalam kontes demokrasi bukan berarti tidak bisa berperan untuk Bangsa Indonesia.
Pemilu juga tidak boleh menjadikan bangsa Indonesia mundur ke belakang karena kekacauan, oleh karena itu diperlukanlah sikap yang cerdas dan dewasa dalam proses Pemilu serentak 2019.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ternyata telah menunjukkan itikad yang baik, Ketua Umum PSI Grace Natalie mengatakan, sambil menunggu real count sebagai standar konstitusional, pihaknya sudah bisa mengambil kesimpulan mengenai hasil pemilu kali ini.
“Menurut Quick Count, PSI mendapat 2 persen atau sekitar 3 juta suara. Dengan perolehan itu PSI tidak akan berada di Senayan pada lima tahun ke depan,” terang Grace Natalie.
Dirinya juga meyakinkan, tak ada suara yang terbuang, tak ada suara yang sia – sia. Setiap suara dukungan anda kepada PSI akan dicatat dan diperhitungkan sebagai statement tentang keberanian : suara rakyat yang menginginkan perbaikan parlemen dan partai politik.
Meski tidak masuk parlemen, PSI juga akan memperjuangkan aspirasi dengan berkolaborasi bersama civil society dan teman – teman media untuk memperjuangkan aspirasi pemilih.
Hal tersebut tentu bisa menjadi contoh sikap yang baik dalam menerima kekalahan, yaitu tidak dengan menggunakan cara – cara kekerasan, ataupun upaya provokatif untuk mendelegitimasi KPU, karena masih banyak cara untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa.
)* Penulis adalah Alumni Universitas Andalas