Masjid Bukan Tempat Kampanye Politik Praktis
Oleh : Dodik Prasetyo )*
Menjelang pesta demokrasi, tak sedikit partai melalui tokoh – tokohnya yang menyuarakan visi misi dan aspirasi mereka di berbagai tempat, tak terkecuali di rumah ibadah sekalipun.
Tahun 2018 tentu merupakan pesta demokrasi yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, ternyata banyak informasi yang beredar bahwa telah terjadi di banyak tempat ibadah yang digunakan oleh pihak tidak bertanggungjawab, dengan Pilkada 2018 sebagai fokusnya.
Tentu hal ini akan menyebabkan menurunnya kondusifitas rumah ibadah, karena aspirasi politik mestinya disampaikan diantara umat beragama yang berbeda – beda. Menyampaikan aspirasi pada tempat ibadah tentu sebuah tindakan yang kurang etis dan tidak menunjukkan fungsi masjid sebagai tempat ibadah ataupun acara keagamaan.
Ingatan akan politisasi di masjid juga masih terasa, dimana kala itu Mantan Ketua MPR Amien Rais membuat polemik dengan tausiyahnya di Jakarta. Dugaan politisasi di lingkungan masjid santer terdengar karena dalam tausiyahnya, Amien Rais jelas berbicara bahwa di negara Indonesa ini hanya memiliki 2 partai, yang pertama ada partai Allah dan yang kedua adalah parta setan.
Tak hanya itu tokoh gerakan 212 yang ternyata mencalonkan diri sebagai calon legislatif, Eggy Sudjana juga melakukan ceramah yang menimbulkan polemik, saat itu beliau melakukan ceramah di Masjid Dzarratul Muthmainnah, Tangerang Selatan, pada 15 April 2018. Dalam ceramahnya, ia menyingungg bahwa buruknya pengelolaan sumber daya alam di era pemerintahan Joko Widodo merupakan sumber kemiskinan masyarakat Indonesia.
Berkat hal yang memprihatinkan tersebut, Eggi mengajak jamaahnya untuk membuat dukungan gerakan #2019gantipresiden. Eggi berucap kalau Presiden membuat kita miskin, jangan pilih presiden yang enggak bener.
Masjid merupakan contoh kampanye paling “murah” menunggangi kegiatan keagamaan dengan kepentingan politik merupakan gaya lama, namun masih acapkali digunakan karena cara ini terbilang murah. Hal ini dikarenakan tanpa susah payah memobilisasi masa dengan iming – iming rupiah saja, orang – orang sudah dipastikan akan berbondong – bondong ke masjid.
Dalam hal ini sudah dipastikan bahwa kedua tokoh tersebut tidak memaknai Masjid sebagai tempat ibadah yang harus steril dari segala ujaran yang berujung pada perpecahan. Masjid fungsi utamanya adalah untuk bersujud dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, direduksi menjadi sebuah cara untuk menggiring masa untuk memenangkan calon dari partai tertentu.
Hal tersebut sempat mendapat tanggapan dari forum silaturahmi takmir masjid (FSTM) se-Jakarta merespons serius politisasi masjid tersebut. FSTM menolak segala upaya politisasi Masjid karena hal ini dapat berpotensi besar untuk memecah belah umat dan merenggangkan tali persaudaraan yang telah susah payah dijalin sejak lama oleh para pendiri bangsa.
Secara spesifik, FSTM memberikan beberapa sikap yang harus diikuti atau diterapkan oleh tokoh agama maupun pengurus/takmir masjid. Pertama, menolak segala bentuk politisasi masjid. Kedua, mengembalikan masjid pada fungsi utamanya, yakni tempat beribadah dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Ketiga, menjadikan Masjid sebagai sarana untuk mempersatukan umat. Keempat, menghimbau kepada masyarakat agar masjid dijadikan sebagai pusat kegiatan keagamaan. Dan menjadikan mimbar masjid untuk menyampaikan kesejukan dan kerukunan umat.
Deklarasi oleh FSTM se-Jakarta ini sudah sepatutnya menjadi acuan bagi daerah – daerah yang lain. Sehingga, gerakan mengembalikan masjid pada fungsi awal dan mensterilkan rumah ibadah dari upaya politik praktis benar – benar mampu membuat jera para pelaku politik.
Harus diakui bahwa politisasi tempat ibadah merupakan cara yang efektif untuk mendulang suara. Hal ini dikarenakan setiap masjid memiliki jamaahnya sendiri. Lazimnya para jamaah akan menuruti apa yang diinstruksikan oleh kyai yang bersangkutan. Dalam strategi kampanye, jamaah atau umat adalah segmentasi pemilih yang menjadi sasaran empuk sehingga harus diamankan.
Dalam ceramah yang disampaikan di lingkungan masjid, sudah sepatutnya materi ceramah harus bersih dari muatan penhinaan, penodaan dan atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktik ibadah antar atau dalam umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk melakukukan tindakan yang intimidatif, diskriminatif, destruktif dan anarkis.
Selain itu materi yang disampaikan juga tidak memuat kampanye politik praktis dan atau promosi bisnis. Namun pembahasan terkait materi politik dalam ceramah masih diperbolehkan asalkan bersifat substantif. Politik subtantif yang dimaksud dalam konteks membicarakan masalah kebangsaan.
Alergi dalam hal politik tentu tidak dibenarkan, sebab politik merupakan salah satu aspek kehidupan. Namun tempat suci seperti masjid tentu sungguh tidak elok jika digunakan untuk kampanye secara terang – terangan, terlebih untuk menumbangkan lawan politiknya dengan memperuncing perbedaan.
Takmir masjid tentu berperan agar masjid tetap netral, netral disini bukan dalam konteks anti politik, namun dimaksudkan untuk menghindari perpecahan. Sebab, fakta menunjukkan betapa mimbar khutbah bisa menjadi sarana untuk menebar benih kebencian.
Masyarakat juga harus kritis terhadap potensi politik praktis di masjid, sementara para takmir masjid, tokoh agama dan juga aktifis partai, sudah sepantasnya untuk bisa menempatkan diri agar tidak memanfaatkan masjid sebagai alat untuk kampanye.
)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)