Mengkaji Capres Paranoid
Oleh : Ridwan Nursalim )*
Indonesia telah diwarisi oleh para pendirinya dengan politik luar negeri bebas aktif untuk ikut serta menciptakan perdamaian dunia. Namun Capres nomor urut 02 tampaknya selalu dibayangi oleh ancaman eksternal sehingga kerap kali curiga terhadap dunia luar.
Dalam dunia diplomasi dan hukum internasional, dikenal dengan adagium “ci vis pacem para bellum”, barang siapa mendambakan perdamaian, maka ia harus siap untuk berperang. Namun ada satu hal yang tidak disadari oleh Capres 02, dalam era modern kekinian, perang bukan selalu urusan hard power dengan senjata tank, pesawat tempur, kapal perang dan sejenisnya; tetapi lebih mengedepankan soft power, semacam teknologi informasi, perang siber, perang dagang, keamanan pangan dan sumber daya alam.
Joko Widodo pernah mengatakan bahwa tantangan di masa depan adalah perang teknologi, sehingga pembangunan alutsista menjadi sangat penting. Dirinya juga menekankan bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia juga sangat penting, termasuk kualitas Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Tak hanya kualitas manusianya, ia menyebut teknologi siber sebagai hal yang wajib dikuasai oleh Bangsa Indonesia.
Nyatanya Indonesia telah mampu memproduksi tank, kapal selam, senapan serbu yang canggih, sarana dan prasarana teknologi informasi juga terus dikembangkan, hal ini tentu menjadi satu langkah visioner dalam sektor pertahanan. Sehingga Presiden Jokowi sudah berada pada jalur yang tepat untuk mengembangkan alusista domestik.
Menyoal budaya diplomasi di Indonesia. Menurut Capres nomor urut 02 tersebut saat ini tak ada kewibawaan Indonesia di ranah internasional. Dirinya berpendapat bahwa kepentingan diplomasi adalah memperjuangkan kepentingan nasional di tataran internasional. Maka diplomasi tidak bisa hanya dengan menjadi mediator.
Prabowo berpandangan bahwa diplomasi harus bisa menggambarkan kekuatan. Menurutnya, hal tersebut perlu dilakukan, karena negara lain juga mengukur kekuatan Indonesia. Prabowo bicara soal kekuatan pertahanan dan keamanan sebagai salah satu komponen diplomasi.
Dirinya juga mengatakan bahwa kekuatan pertahanan Indonesia rapuh bin lemah, hal ini tentu menunjukkan bahwa Prabowo tidak memahami peran Indonesia di kancah Internasional, padahal Indonesia saja telah menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan PBB, bagaimana mungkin pertahanan Indonesia bisa dikatakan lemah?
Pernyataan tersebut pun ditepis oleh Cawapres nomor urut 01 Ma’ruf Amin yang mengatakan bahwa Indonesia saat ini masih diperhitungkan sepak terjangnya seperti mendamaikan konflik di negara lain dengan menjadi penengah pertikaian.
Indonesia juga dipercaya sebagai mediator konflik di Afghanistan. Sebagai mediator, Indonesia berupaya mencairkan ketegangan. Selain itu dalam konflik yang menimpa Rohingya di Myanmar, Indonesia juga berperan dalam mengembalikan Rohingya ke rumahnya.
Berbeda dengan Jokowi yang menanggapi hal tersebut dengan mengatakan, bahwa Soft Diplomasi juga penting, Capres petahana tersebut lebih mementingkan hubungan baik antarnegara dengan mengedepankan investasi serta perdagangan.
Meski Prabowo adalah mantan Danjen Kopasus, dirinya tidak mengetahui ilmu kemiliteran yang terus berkembang. Mungkin dia juga tidak tahu bahwa TNI saat ini telah menunjukkan banyak perkembangan dan berhasil meraih prestasi di kancah Internasional.
Prabowo juga tidak paham bahwa saat ini indeks militer TNI berada di posisi nomor 1 di Asia Tenggara, dan nomor 14 atau 15 di dunia. Kalau Prabowo mengatakan pertahanan Indonesia lemah, hal itu wajar saja ia katakan, karena ia sudah tidak berada dalam dunia militer setelah dipecat.
Selain itu New York Times melaporkan bahwa Departemen Luar Negeri AS juga menolak visa Prabowo pada tahun 2000 tatkala dia berencana menghadiri wisuda sarjana anaknya di Boston. Belum ada penjelasan lebih rinci terkait alasan dibalik penolakan tersebut.
Di samping itu semua, bagaimana mungkin bisa Indonesia menolak kegiatan Impor seperti yang digaungkan oleh Prabowo, padahal kudanya juga merupakan impor, makanan kudanya impor, tukang masak makanan kudanya adalah orang asing.
Hal itu jelas menunjukan inkonsistensi Prabowo dalam menerapkan kebijakan. Namun ada sesuatu permasalahan yang tak sedap untuk didengar, bahwa dalam wawancara The Straits Times, Prabowo mengaitkan “Losing is not option”, yang jika diartikan “Saya tidak akan menerima kemungkinan kalah,”. Hal ini jelas menakutkan apabila dirinya menjadi pemimpin negeri ini, apalagi tanpa pengalaman sedikitpun dalam memimpin suatu daerah maupun wilayah.
)* Pegiat Media Sosial