Merawat Indonesia yang Bhineka
Oleh : Rahmat Zaki Walad )*
Perbedaan dalam masyarakat Indonesia bukanlah hal yang baru, Indonesia berdiri karena rasa persatuan dari seluruh bangsa dan agama yang ada di Nusantara. Hal ini menjadi landasan bagi para pendiri bangsa untuk menyematkan semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai kalimat yang dicengkeram oleh buruh Garuda Pancasila.
Namun sayangnya para elit politik seakan abai dengan rasa persatuan yang telah terjalin berpuluh – puluh tahun, mereka mempertajam perbedaan pilihan dengan bingkai ujaran kebencian yang rawan akan konflik horisontal.
Upaya provokasi juga santer didengungkan untuk memilih kandidat tertentu, saling serang, saling tuduh marak bersliweran di jagad sosial media.
Perkembangan teknologi informasi seakan membawa masyarakat ke era post truth, dimana orang tidak lagi mencari kebenaran berdasarkan fakta, melainkan mendefinisikan kebenaran dengan mencari pembenaran, konfirmasi dan dukungan terhadap keyakinannya sendiri.
Tak peduli salah atau benar, asalkan mendapatkan banyak dukungan, maka sesuatu yang masih samar akan dibenarkan dan digaungkan agar mendapatkan dukungan yang lebih besar.
Asal Informasi seakan sudah tidak penting, kebenaran ataupun kesalahan sebuah informasi sudah tak terpikirkan lagi.
Masyarakat di Indonesia telah terjebak dalam pusaran Echo Chamber dimana gema di media sosial menjadi fenomena post truth informasi berbasis emosi, terlepas dari berita tersebut hoaks atau tidak, cacat logika, atau tidak.
Fenomena tersebut bersenyawa dengan propaganda yang semakin memekakkan, hiruk pikuk kampanye Pilpres maupun Pileg, terus dieksploitasi oleh kaum elit politik. Dimana mereka lupa bahwa konflik yang tercipta untuk meraih kemenangan elektoral kerap terus berlanjut bertahun – tahun kemudian, hingga sampai pada masyarakat akar rumput.
Pemilu 2019 masih menyisakan residu polarisasi, meski bendera dan baliho kampanye telah lenyap dari pemandangan jalan desa dan kota. Sudah sepantasnya kampanye menjadi ajang adu program, namun kampanye hitam masih saja muncul, baik melalui media online, maupun media cetak yang didistribusikan pada setiap masjid.
Klaim kemenangan Capres atas dasar survei internal, tentu menjadi catatan tersendiri atas Pemilu. Klaim inilah yang kemudian diamini oleh pengikut loyalnya, meski pada kenyataannya, hasil survei quick count dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa Capres penantang belum bisa mengungguli Capres petahana.
Selain itu, peran agama juga penting dalam merilekskan ketegangan pasca Pemilu, para tokoh agama tidak hanya bertugas berdakwah saja, namun juga berperan dalam menjelaskan tentang semangat persatuan dan sikap toleran.
Sudah saatnya para elite politik utamanya yang turut andil dalam Pemilu, agar dapat saling bertemu, bercengkerama dan tertawa untuk merajut kembali tali persaudaraan yang mungkin sempat renggang karena Pilpres 2019 yang menyedot perhatian masyarakat Indonesia.
Perbedaan pilihan dan pandangan politik merupakan sebuah dinamika pendewasaan demorasi, dimana masing – masing peserta akan diuji ketika yang menang mampu berbuat bijak dan yang kalah mampu berlapang dada. Semua pihak yang terlibat tentu diharapkan mampu melihat semua persoalan dalam takaran proporsional.
Ketua Pengurus Harian Tanfdziyah PBNU, Robikin Emhas meminta seluruh elit politik di koalisi Capres – Cawapres Pilpres 2019 untuk turut aktif dalam menurunkan tensi ketegangan antarpendukung, Sebab, sebagai tokoh masyarakat, sudah sewajarnya jika mereka menjadi sosok yang diteladani bagi para pengikutnya.
“Elite politik, tokoh masyarakat dan pemuka agama harus memberi tauladan kepada masyarakat,” tutur Robikin.
Dirinya juga menambahkan bahwa elit politik memiliki peran dalam meredam tensi politik yang sempat memanas pada masa kampanye lalu, hal ini agar kedua pendukung paslon Capres – cawapres dapat menunjukkan sikap kenegarawanan dengan menjunjung persatuan.
Salah satu langkah yang bisa kita lakukan adalah dengan tidak terprovokasi oleh berbagai ujaran, janganlah mudah membenci hanya karena berbeda pilihan, siapapun presidennya nanti, peran pembangunan bangsa tidak hanya dilakukan oleh Presiden, namun pembangunan bisa dimulai dari diri sendiri.
Setelah berbagai hingar bingar kampanye di berbagai media, tentu kini saatnya para elite politik dan kita semua kembali menjadi satu. Kembali menjadi kawan, sahabat, saudara, tetangga tanpa memandang perbedaan ataupun kubu 01 atau 02. Kita semua memiliki peran untuk bersama sama merawat semboyan Bhineka Tunggal Ika, sebagaimana yang telah diamanatkan para pendiri bangsa ini, untuk mewujudkan Indonesa Merdeka.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik