Perlukah People Power di Era Reformasi?
Oleh
: Elan Rahmawati )*
People power dapat diartikan sebagai upaya menggerakkan massa dalam jumlah besar untuk menuntut suatu hasil seperti yang pernah terjadi pada akhir era orde baru yang ditandai dengan demonstrasi besar – besaran dengan tuntutan Presiden Soeharto mundur dari Jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 1998.
Namun gaung people power saat ini muncul kembali, bahkan Amien Rais mantan ketua MPR yang saat ini menjadi Dewan Pembina BPN juga turut menginisiasi gerakan people power karena dugaan kecurangan dalam Pemilu.
Padahal rakyat memiliku ruang untuk mengganti kekuasaan melalui pemilu tiap 5 tahun sekali. Oleh sebab itu, tindakan yang menginginkan pergantian kekuasaan dengan menghambat proses pemilu merupakan tindakan yang tidak konstitusional.
Hal tersebut mendapat tanggapan dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir yang mengajak masyarakat agar berlapang hati untuk siap menang dan kalah dalam ajang Pemilihan Umum 2019 sehingga tidak perlu melakukan delegitimasi Pemilu 2019 dengan gerakan people power yang diinisiasi oleh Amien Rais.
“Agar bijak mengedepankan sikap kenegarawanan. Baik yang berhasil di Pileg, Pilpres, agar menjadikan amanah dengan rendah hati tidak perlu takabur. Bagi yang kalah belum mendapat mandat, terimalah dengan lapang hati,” tutur Haedar dalam konferensi pers di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta.
Atas fenomena people power menanggapi hasil Pemilu 2019, Haedar mengatakan bahwa sebaiknya hal tersebut diurungkan karena terdapat pola mengusut kecurangan Pemilu melalui jalur resmi dan elegan.
“Kalau ada masalah – masalah yang menyangkut persengketaan Pemilu, selesaikan lewat prosedur, lewat Mahkamah Konstitusi dan proses yang dijamin peraturan yang berlaku,” tuturnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut juga percaya akan kredibilitas lembaga negara yang mengatasi sengketa Pemilu. Bagi pihak yang menang, agar bersyukur karena itu adalah beban yang berat.
Sementara itu, siapapun selaku orang beriman, agar berupaya dengan sabar, syukur dan sikap yang baik dalam menghadapi segala hasil Pemilu.
“Tidak perlu ada mobilisasi massa. Semua insyaallah tahu mekanisme Pemilu yang seperti itu. Saya percaya semua akan memperoleh hasil baik, cerdas dan berjiwa kenegarawanan,” tutur Haedar.
Dalam UUD 1945 dan UU nomor 07 tahun 2017 tentang pemilu, telah mengatur mekanisme penyelesaian sengketa / pelanggaran pemilu melalui mekanisme hukum. Karenanya, tidak boleh ada mekanisme lain di luar hukum dalam menyikapi suatu proses demokrasi pemilihan umum 2019.
Namun apabila people power dilakukan guna mengabaikan tahapan – tahapan hukum pemilu, maka mengarah pada tindakan yang inkonstitusional dan mencederai prinsip kedaulatan rakyat itu sendiri. Jika hal tersebtu dibiarkan, tentu akan semakin memperkeruh suasana politis di Indonesia.
Tindakan people power sendiri hanya menunjukkan sikap ketidakdewasaan dalam berpolitik, hal tersebut juga bisa dijatuhi sanksi hukum dengan segala instrumen UU yang ada. Dari KUHP hingga UU ITE.
Yenti Garnasih selaku Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi mengatakan bahwa Hasutan, tindakan, perbuatan people power dengan maksud memobilisasi massa untuk menggulingkan pemerintah yang sah adalah tindakan inkonstitusional, yang dapat dijatuhi sanksi hukum.
Dalam KUHP terdapat undang – undang yang dapat digunakan dalam menindak hasutan / tindakan perbuatan people power, antara laun pasal penghasutanm penghinaan dan Makar UU Pemilu dan UU ITE.
Menurut para ahli, tindak pidana makar tidak perlu sampai selsesai delik itu yaitu tergulingnya pemerintahan yang sah. Namun, percobaan makar seperti penghasutan sudah bisa dikenai pasal makar.
Pengamat hukum Feri Amsari mengatakan bahwa gerakan people power tidak bisa menyelesaikan masalah sengketa pemilu di Indonesia, meski pelanggaran pemilu pasti akan terjadi.
“Saya mengingatkan kalah mau memilih jalur MK, disiapkan bukti – buktinya secara matang. Menurut saya, saran saya kepada pihak yang menyarankan people power itu, lebih baik pihak ini berkonsentrasi untuk maju ke MK jika ada indikasi kecurangan,” tutur Feri.
Hal tersebu menandakan bahwa selain people power menambah kegaduhan, gerakan tersebut juga sia – sia, karena apabila sengketa pemilu tidak diajukan ke MK, dalam kerangka hukum pemilu, artinya semua pihak menerima segala keputusan yang ditetapkan oleh KPU.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik