Upaya Delegitimasi KPU Dan Cara Curang Untuk Menggagalkan Hasil Pemilu?
Oleh : Catur Sastranegara )*
Upaya generalisasi atas kasus-kasus kecurangan, serta derasnya kampanye protes dan penolakan hasil pemilu adalah upaya delegitimasi lembaga penyelenggara. Selain itu, merupakan sikap tendensius yang bertentangan dengan demokrasi dengan tidak mempercayai KPU sebagai lembaga yang kredibel.
Terkait polemik hasil sementara perolehan suara terutama untuk paslon 01 yang mendapatkan perolehan suara signifikan di atas sang penantang, tentu publik dapat menyaksikan publikasi secara langsung melalui media-media kridebel, karena selama real count berlangsung KPU telah melakukan secara terbuka bahkan dapat diakses oleh siapa pun lewat laman resminya pemilu2019.kpu.go.id. Artinya, KPU sudah berada di jalan yang benar dengan melaksanakan proses secara terbuka, tetapi masih saja muncul tuduhan negatif yang sesungguhnya upaya dari pihak-pihak tertentu yang tidak lain bertujuan untuk mendelegitimasi hasil perhitungan resmi KPU, sehingga diharapkan KPU kehilangan kepercayaan dari publik (public trust). Padahal KPU sudah maksimal dalam menghadirkan proses pemilu yang jurdil dan terbuka serta transparan. Karena itu, semua pihak seharusnya menghargai proses yang sedang berlangsung tersebut.
Kini saya coba analisa keterkaitan pemilu Kongo 2018 dengan upaya deligitimasi KPU. Kalau di Pemilu Kongo gudang logistik KPU dibakar sebelum Pemilu dilaksanakan, antara oposisi dan Pemerintah saling menyalahkan, sementara di Indonesia gudang logistik KPU terbakar pasca pencoblosan, sementara penghitungan suara KPU belum selesai. Belum diketahui apa yang menyebabkan gudang KPU di Sumatera Barat terbakar, apakah ada yang membakar atau karena sesuatu dan yang lain hal. Ini adalah juga yang akan menyebabkan kekisruhan terhadap hasil Pemilu.
Upaya mendeligitimasi KPU ini sudah terlihat sejak awal Pemilu diselenggarakan, tuduhan terhadap server KPU yang disetting untuk memenangkan paslon 01 juga digulirkan. Jauh sebelum itu beradar kabar ditemukan berkarung-karung surat suara yang tercecer, sementara KPU belum mencetak surat suara. Juga hoaks 7 Kontainer surat suara yang sudah tercoblos dipelabuhan tanjung periuk. Pasca pencoblosan beredar kabar website KPU diretas Hacker komunis china, padahal itu pun merupakan kabar bohong.
Upaya mendeligitimasi KPU adalah juga upaya untuk mendeligitimasi hasil Pemilu 2019. Terbukti sudah ada wacana agar Pemilu 2019 diulang. Inikan sangat tidak beralasan, bayangkan berapa banyak lagi negara harus keluarkan anggaran untuk Pemilu ulang. Harusnya kalau ada persengketaan, selesaikan saja Di MK, bukan malah bawa keegoisan masing-masing, karena hanya tidak siap kalah atau hanya maunya menang.
Tidak ada upaya untuk menyelesaikan segala bentuk persengketaan hasil perhitungan suara, secara konstitusional, sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Pemilu, kubu 02 yang sudah Deklarasi dini Capresnya sebagai Pemenang Pilpres, sementara KPU belum mengumumkan hasilnya. Sama seperti Pemilu di Kongo juga demikian, sehingga masyarakat dibikin bingung. Situasi ini akan menimbulkan gesekan di masyarakat kalau sampai tidak cepat diredam. Kubu 02 bersikukuh sebagai pemenang, hanya atas dasar perhitungan suara internal yang hingga kini tidak mau menunujukan data dan mekanismenya, hal ini yang menjadi aneh dan menjadi pertanyaan banyak pihak. Hanya narasi-narasi yang provokatif terus dibangun di media-media utamanya media sosial.
Kalau saja setiap pihak mau menghargai aturan dan Undang-Undang yang berlaku, maka sengketa ini bisa diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Karena mekanisme aturan yang berlaku dalam UU Pemilu memanglah seperti itu. Namun agaknya kubu 02 tidak ingin mengikuti mekanisme konstitusi, hanya karena merasa dicurangi. Harusnya kalau memang ada kecurangan, harus dibuktikan secara bersama-sama, bukan hanya atas pernyataan satu pihak, begitu juga sebaliknya, kebenaran pun harus diakui oleh kedua pihak, bukan cuma satu pihak tapi mekanismenya tetap harus sesuai konstitusional bukan fitnah dan provokatif ajakan cara-cara inkonstitusional.
Kalau para pemimpin kubu 02 sendiri tidak bisa menghargai aturan, bagaimana pendukungnya mau tertib terhadap aturan. Ke depan dalam penyelenggaraan negara kita akan sulit menertibkan masyarakat untuk patuh pada aturan, karena pemimpinnya sendiri tidak memberikan teladan yang baik. Jokowi sudah mengirimkan utusannya untuk menemui Prabowo, namun sepertinya tidak membuahkan hasil. Sementara Imam Besar FPI, Rizieq Shihab, menghimbau kepada kubu Prabowo-Sandi, agar tidak melakukan deal-deal tertentu dengan Kubu Jokowi-Ma’ruf. Sepertinya memang ada pihak yang menginginkan terjadinya kekacauan akibat pelaksanaan Pemilu 2019. Pemilu hanya dijadikan pintu masuk untuk menciptakan kerusuhan. Dengan adanya kerusuhan massal, maka mereka akan masuk untuk menambah kekacauan.
Inilah yang harus diantisipasi oleh aparat keamanan, sebagai masyarakat kita tidak perlu terpancing untuk melakukan pertikaian, kalau sampai itu yang terjadi yang rugi hanya kita sendiri. Mereka yang menginginkan peluang tersebut akan bertepuk tangan. Mari kita tolak upaya pendelegitimasian Pemilu 2019 baik penyelengaranya maupun hasil resminya. Semoga masyarakat dapat dengan jernih menilai dan menyimpulkan apa yang terjadi saat ini. mari kita selamatkan demokrasi kita untuk kemajuan bangsa.
)* Penulis adalah Blogger- Mahasiswa Universitas Paramadina.