Inspirasi dari Rusia
Oleh : Djadjat Sudradjat )*
Pesta olahraga Asia, Asian Games tahun ini, sebulan lagi dimulai. Ada harapan kuat, elan peristiwa serupa pada 1962 di Jakarta kembali bergelora. Namun, ada kecemasan juga negeri yang tengah terbelah karena politik ini tak akan beranjak jauh dari prestasi serupa sepanjang era reformasi. Indonesia seperti raksasa tidur siang, mendengkur sepanjang waktu. Jadi pecundang berulang-ulang.
Kini, meski dihelat di negeri sendiri, terasa kurang ada demam yang ‘menggigil-panaskan’ suasana. Di dua kota sebagai penyelenggara, Palembang dan Jakarta, ‘Kota Empek-Empek’ justru lebih punya gema.
Padahal, pesta olahraga yang diikuti 45 negara inilah kesempatan terbaik mempromosikan Indonesia. Asian Games yang mempertandingkan 40 cabang olahraga ini bakal disiarkan 50 negara. Sekitar 200 ribu tamu, baik atlet, official, maupun suporter, bakal berada di Indonesia selama dua pekan (28 Agustus-4 September 2018).
Pada 1962, Indonesia dengan segala keterbatasan berjaya di baris kedua setelah Jepang. Semula ada hinaan ketika Indonesia terpilih menjadi tuan rumah dalam sidang Asian Games 1958 di ‘Negeri Matahari’. Lonceng kematian bakal terjadi di Jakarta, kota yang jorok dengan wabah malaria mengancam. Begitu tulis sebuah surat kabar di Singapura.
Ketika terpilih, kita memang belum punya apa-apa, kecuali semangat dan kehormatan mendapat kepercayaan. Kompleks Stadion Olahraga Bung Karno yang megah, Hotel Indonesia yang jangkung, TVRI, dan berbagai sarana lain, dibangun pada masa empat tahun itu. Ada semangat rakyat yang berlipat-lipat.
“Ini… ini akan jadi stadion terbesar di dunia, ini adalah awal bangsa kita menjadi bintang pedoman bangsa-bangsa di dunia, semua olahraga dari negara-negara di dunia ini, berlomba di sini. Kita tunjukkan pada dunia, Indonesia bangsa yang besar, yang mampu maju ke muka memimpin pembebasan bangsa-bangsa di dunia menuju dunia barunya,” kata si Bung seraya menunjuk-nunjuk dengan tongkat ke maket Stadion Senayan. Ia memimpin langsung megaproyek itu. Termasuk letak Patung Selamat Datang yang dibuat seniman Edhie Sunarso.
Sesuatu yang nyaris muskil memang waktu itu. Namun, Bung Karno mengerahkan segala kekuatan: rakyat yang tak sudi kehormatannya dilucuti, termasuk para tukang becak, ikut membangun Stadion Senayan.
Ia menjadikan Asian Games IV sebagai upaya membangun karakter bangsa.
“Revolusi keolahragaan kita adalah sebagian daripada nation building Indonesia, revolusi kita untuk membentuk manusia baru Indonesia,” kata Bung Karno dalam pidatonya.
Indonesia pun menyambut Asian Games 1962 dengan kepala tegak. Ada 17 negara berlaga mempertandingkan 15 cabang olahraga. Jepang memperoleh 73 keping emas, Indonesia di posisi kedua dengan 21 emas. Negeri seperti Korea, Thailand, jauh di bawah kita. Namun, 20 tahun terakhir, prestasi olahraga Indonesia meredup. Seluruh gelora semangat di masa lalu seperti melesap. Kita terlalu jauh tertinggal.
Asian Games XVIII harusnya mampu menghadirkan kembali semangat revolusi olahraga 1962. Semangat ketika seluruh pemimpin dan rakyat disatukan. Tentu dengan perencanaan olahraga yang matang dan pelaksanaan yang sungguh-sungguh.
Atau kita bisa belajar dari Piala Dunia yang baru usai di Rusia. Ada banyak inspirasi yang bisa dipetik dari sana. Rusia, meski tak juara, dipuji sebagai penyelenggara pesta bola paling sukses sepanjang sejarah. Kuncinya seluruh rakyat bersatu untuk melayani seluruh tamu.
Pesta bola di Rusia bisa dibilang sebagai peristiwa yang menghasilkan juara dengan tiga pemenang. Prancis yang mengalahkan Kroasia 4-2 pemenang dan juara. Namun, Kroasia, meski kalah, tak berduka. Ia dipuji sebagai negara baru dengan 4 juta penduduk yang mampu masuk final dengan mengalahkan para raksasa seperti Argentina dan Inggris. Di Zagreb, ketika kembali, mereka disambut gegap gempita bak pahlawan menang besar.
Rusia, meski tak sampai ke semifinal, dipuji sebagai penyelenggara tiada duanya. Presiden Vladimir Putin yang semula diduga bakal nenjadikan Piala Dunia sebagai panggung politik tak terbukti. Konflik diplomatik dengan Inggris justru mampu disisihkan selama Piala Dunia. Mereka bersatu dalam bola.
Seusai laga final, di panggung dunia menyaksikan tiga presiden dengan ekspresi bahagia: Vladimir Putin (Rusia), Emmanuel Macron (Prancis), dan Kolinda Grabar-Kitarovic (Kroasia). Mereka bahagia, meski berbasah-hujan, tetap menyalami bahkan memeluk hangat para pemain Prancis dan Kroasia. Ketiga presiden itu jadi bintang, terlebih Kolinda, yang banjir pujian. Ia serupa ibu yang tak pernah habis cintanya untuk anak-anaknya.
Piala Dunia 2018 telah melahirkan satu juara dengan tiga pemenang. Inilah kemenangan bersama.
Indonesia dalam Asian Games kali ini mestinya bisa mengambil inspirasi dari Piala Dunia di Rusia. Dengan menjadikan pesta olahraga Asia sebagai upaya menyatukan seluruh elemen bangsa. Sebuah kehormatan yang terlalu pandir jika kita sia-siakan.
)* Penulis adalah Dewan Redaksi Media Group
Sumber : Media Indonesia