Agenda Politis Terselubung di Reuni Alumni 212
Oleh : Rivka Mayangsari )*
Dua tahun lalu demonstrasi 212 digelar besar-besaran di Jakarta dalam rangka menyikapi kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta. Dan sekarang, terdapat sekelompok orang yang ingin mengenang unjuk rasa tersebut. Persaudaraan Alumni (PA) 212 akan menggelar reuni akbar ke-2 di Lapangan Monas pada 2 Desember 2018. Reuni itu rencananya akan dihadiri oleh seluruh alumni PA 212 dan umat muslim lainnya yang anti terhadap Ahok.
Menurut Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212, Slamet Maarif, reuni 212 akan fokus pada segi silaturahim antar alumni serta dalam rangka memperingati Hari Maulid Nabi. Slamet Maarif juga memberikan isyarat akan mengundang Capres dan Cawapres yang maju dalam Pilpres 2019. Meskipun Slamet tidak secara gamblang menyebutkan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, namun pihaknya memberikan sinyalemen ke arah sana.
“Anda bisa baca selama ini yang didukung 212 siapa. Sedang dipertimbangkan apakah ada kemungkinan diundang atau tidak, kita belum putuskan. Yang jelas sudah buka komunikasi dengan ulama 212 se-Indonesia,” kata Slamet, sebagaimana di lansir Liputan6.com.
Menyikapi rencana tersebut, Cawapres 02, KH. Ma’ruf Amin menilai bahwa Reuni 212 sebagai agenda yang tidak perlu dilaksanakan. Kyai Ma’ruf juga mengaku tidak akan datang jika diundang ke reuni tersebut. Dia tidak akan hadir jika ada agenda politik di dalam reuni itu.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Pengamat politik dari Universitas Pamulang (Unpam) Sonny Majid yang memprediksi jika reuni dari aksi ini tidak akan semarak seperti saat awal kali digelar. Bahkan dia menilai, momentum aksi 212 sudah habis. Menurut Sonny, sudah muncul kecurigaan dari sebagian besar Alumni 212 bahwa aksi yang akan digelar itu telah ditunggangi gerakan politik untuk Pilpres 2019. Karena itulah mereka memutuskan untuk tidak ikut serta.
Tak hanya itu, Sonny mengatakan, setelah kasus Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) berakhir, seharusnya gerakan seperti ini tidak diperlukan lagi. “Tapi kelompok yang punya kepentingan ini mencoba menunggangi gerakan umat Islam,” kata Sonny.
Seperti diketahui, aksi 212 lahir terkait kasus penodaan agama oleh Ahok yang waktu itu menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Jutaan umat Islam dari berbagai daerah berbondong-bondong ke Jakarta untuk menggelar unjuk rasa. Mereka menuntut agar Ahok diproses hukum.
Tuntutan umat Islam akhirnya dipenuhi oleh aparat penegak hukum. Ahok disidangkan dan divonis bersalah dan saat ini sedang menjalani hukuman,” ujar Sonny. Hukuman yang diberikan kepada Ahok telah melegakan mayoritas umat Islam. Karena itulah, umat Islam banyak yang tidak datang pada reuni alumni 212 pertama tahun 2017 lalu.
Banyak yang merasa aksi ini tidak perlu dilakukan lagi, bahkan ada yang berprasangka gerakan umat Islam cenderung ditunggangi kepentingan politik praktis. “Gerakan umat Islam saat itu pun sebenarnya ada yang menunggangi untuk kepentingan politik praktis yaitu Pilkada DKI, tapi umat Islam memilih tutup mata, yang penting Ahok dipenjarakan,” kata Sony.
Sonny pun menyayangkan sikap kelompok penunggang gerakan umat Islam yang selalu mencari momentum untuk melakukan aksi besar. Terbaru, mereka mempersoalkan pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid oleh anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser).
Namun, menurut Sonny, aksi tersebut justru lebih kental nuansa politisnya untuk mendukung pasangan calon presiden tertentu. “Ini juga sedikit aneh. Sebab, gerakan umat Islam itu justru diarahkan mendukung calon yang bukan ulama, kalau mau fair, umat Islam harusnya mendukung calon nomor urut 01 karena ada Kiai Ma’ruf Amin di sana,” ucapnya.
Dia menambahkan, calon wapres nomor urut 01 itu juga telah berkontribusi dalam Aksi 212. Sebab, atas fatwanya aksi itu muncul. “Fatwa itu dijadikan legitimasi umat Islam dalam aksinya saat itu,” kata Sonny. Reuni 212 esok tidak lepas dari momen Pilpres 2019 mendatang, ini kenyataan yang tak usah dipungkiri dan dicari-cari alibinya.
Ada yang menilai bahwa target gerakan atau kelompok 212 ini adalah menguasai ruang publik untuk menaikkan daya tawar politik mereka. Ini tentu berimplikasi sangat politis baik kepada para pemburu kekuasaan ataupun terhadap kelompok politik yang sedang memerintah saat ini.
Tak heran kalau kelompok 212 ini bahkan telah membuka 212 Mart dimana-mana. Kelak mungkin diharapkan 212 bisa memiliki posisi tawar yang tinggi. Saya curiga gerakan ini akan terus dikapitalisasi selama tahun pilitik. Gerakan 212 menggunakan instrumen agama Islam sebagai tameng, ini tentu bahaya oleh karena bisa saja perlahan-lahan rasionalitas umat akan tergerus.
)* Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Politik