Akademisi Sebagai Penangkal Virus Fanatisme Prabowo
Oleh : Ahmad Harris )*
Pada pertengahan 2016, Yeon Sang-ho, sutradara dari Korea Selatan, secara resmi merilis sebuah film dengan genre Thriller yang cukup populer dengan judul Train to Busan. Film ini mengisahkan perjalanan seorang pria bersama anaknya yang terjebak di dalam kereta saat virus zombie menyebar di kota tersebut. Masyarakat kota yang terinfeksi dengan virus berubah menjadi zombie yang beringas dan tidak lagi menggunakan akal sehatnya. Mereka hanya bergerak tanpa arah dalam kerumunan untuk mengejar manusia yang tidak terinfeksi. Dalam film tersebut, seorang putri dan seorang wanita akhirnya dapat dievakuasi oleh pihak pemerintah wilayah lain. Sayangnya, tidak ada solusi untuk penyembuhan zombie-zombie yang telah terinfeksi dalam film tersebut.
Sekilas film tersebut dapat dianalogikan dengan keadaan sebagian masyarakat Indonesia saat ini yang terkena virus fanatisme Prabowo. Sejumlah masyarakat Indonesia nyatanya terinfeksi dengan virus pembodohan oleh para ulama-ulama yang menebarkan provokasi dan kebencian. Hasil doktrin dari ulama lulusan luar negeri yang tidak mengerti penyebaran Islam di tanah air mulai menjangkiti masyarakat dengan virus fanatisme terhadap Prabowo sebagai calon Presiden. Dalam hal ini, pilihan tokoh panutan mereka terhadap Prabowo sebagai capres harus menjadi panduan dan wajib hukumnya untuk dijalankan. Wajar saja, kalau masyarakat Indonesia yang terjebak dalam virus fanatisme pun menjadi beringas dan intoleran dengan masyarakat lain yang tidak sepemahaman dengannya. Melakukan persekusi, provokasi hingga kekerasan tak jarang menjadi perilaku dari masyarakat yang terkena virus Fanatisme Prabowo ini. Tentu kondisi yang saling terpecah akibat virus fanatisme ini dapat membawa Indonesia ke dalam kehancuran.
Untungnya, penyebaran virus fanatisme tersebut tampaknya dapat semakin ditekan dengan kehadiran akademisi dalam Pilpres 2019. Para akademisi yang merupakan alumni UI, ITB, UGM, ITS, IPB, UNS, UNAIR, UNDIP, UNPAD, Universitas Trisakti serta Universitas Atmajaya akhirnya menyatakan sikap dalam Pilpres 2019 dengan mendukung Presiden Jokowi melalui deklarasi yang diadakan di kompleks Gelora Bung Karno. Dalam deklarasi tersebut, para akademisi yang selama ini tidak terlihat, hadir untuk menyuarakan alasan ilmiah dan rasional untuk mendukung Presiden Jokowi. Melalui pemikiran-pemikiran yang ilmiah dan rasional, kehadiran tokoh intelektual dalam Pilpres 2019 akan memberi harapan bagi Indonesia untuk melawan virus fanatisme yang telah menginfeksi sejumlah masyarakat Indonesia. Nyatanya, masyarakat yang sudah terjangkit dengan virus fanatisme telah kehilangan akal sehat untuk berpikir rasional sehingga kehadiran akademisi ini dalam Pilpres 2019 diharapkan juga dapat menjadi penetralisir virus fanatisme dari kelompok tersebut.
Bergabungnya gerakan akademisi dari perguruan tinggi terkemuka menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang optimis dan berkeinginan untuk membawa Indonesia menuju kemajuan, bukan menuju kepunahan. Melalui gerakan ini pula, kita dapat melihat bersatunya perjuangan rakyat dan kaum intelektual untuk melawan virus fanatisme serta pembodohan yang digunakan oleh kubu Prabowo. Kehadiran para akademisi ini menyebarkan semangat optimisme yang cukup besar baik bagi kemenangan Presiden Jokowi maupun kemenangan Indonesia melawan virus fanatisme. Ibarat Antidot, begitulah kehadiran akademisi sebagai penangkal sekaligus penetralisir virus fanatisme Prabowo yang telah menginfeksi sejumlah masyarakat Indonesia. Berbeda dengan ending pada Train to Busan, pada akhirnya Indonesia akan mampu melawan sekaligus menyembuhkan virus fanatisme dari masyarakat Indonesia.
)* Penulis adalah Pemerhati Politik