Aksi Mujahid 212 Wujud Politisasi Agama
Oleh : Indah Rahmawati )*
Kelompok Alumni 212 kembal mencari perhatian setelah Pemilu 2019 dengan melakukan Aksi Mujahid 212. Acara tersebut merupakan bentuk politisasi agama karena menggunakan kedok agama untuk kepentingan politik.
Politisasi agama di ruang publik kembali berwujud dengan nama Parade Tauhid yang belakangan berganti nama. Nama Parade Tauhid ini mengalami perubahan menjadi Aksi Mujahid 212. Sesuai rencana aksi ini akan digelar di depan Istana Negara. Ali Mochtar Ngabalin selaku Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden mengaku siap menerima aksi yang digawangi oleh Edy Mulyadi.
Aksi ini menyinggung soal empat isu terkini. Yakni, poin pertama berkenaan dengan aksi mahasiswa yang dinilainya masih dihadapi aparat dengan tindakan represif. Edy Mulyadi menyesalkan akan adanya korban luka, meninggal, bahkan ada yang dilaporkan hilang. Poin Kedua yang akan disampaikan ialah, kemunculan aksi para pelajar sebagai sebuah kejadian yang sebelumnya tidak pernah terjadi, kaitannya dengan ekskalasi politik di Indonesia. Aksi yang dilakukan secara spontan dan tanpa instruksi yang nyata ini berakhir ricuh serta diamankannya ratusan pelajar yang berdemo oleh aparat.
Isu Ketiga yang diangkat ialah berkenaan dengan kerusuhan di Wamena, Papua. Yakni, dengan korban puluhan jiwa serta eksodus warga pendatang yang keluar dari wilayah tersebut juga akan disuarakan. Poin terakhir atau keempat ialah bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Pihaknya menyesalkan akan kinerja pemerintah yang dinilai lambat dalam penangananya. Sehingga berdampak pada pemaparan penyakit juga timbulnya korban jiwa.
Mengenai isu penanganan aksi mahasiswa, Ngabalin pun meminta pihak Edy untuk membawa data-data yang valid. Sementara untuk masalah karhutla, staf tenaga ahli istana ini menantang pentolan aksi, yakni Edy cs guna turun langsung ke titik lokasi. Bahkan ia juga meminta Edy membaca serta memahami UU secara utuh sebelum menyatakan pemerintah lamban. Ngabalin juga menegaskan jika kasus karhutla ini bukan macam pemadaman kebakaran tong sampah yang bisa langsung ditangani. Pemerintah harus berkoordinasi dengan wilayah terkait otonomi daerah serta menelusur siapa yang bertanggung jawab penuh atas ini. Ia bahkan menambahkan jika jangan mengatasnamakan umat, namun nyatanya penuh dengan prasangkan buruk, terlalu mahal Islam dan umat, sehingga jangan jadikan aksi ini untuk kepentingan politik.
Hal menarik lainnya ialah tak tersentuhnya perihal UU PKS. RUU ini ialah Rancangan Undang-Undang Penghapusan kekerasan seksual yang belum juga disahkan. Aksi ini dinilai tak mewakili mahasiswa dalam menyuarakan aspirasi terkait UU tersebut. Dalam RUU tersebut diharapkan untuk segera dilaksanakan karena dinilai sangat urgent. Pada awalnya Komnas Perempuan mengklasifikasikan jenis kekerasan seksual ini ke dalam 9 poin. Namun, kemudian bertambah menjadi 15 poin. Hal ini didasarkan atas hasil riset empiris yang dilakukan.
RUU PKS ini dinilai mampu memfasilitasi korban kekerasan seksual yang selama ini tidak dapat terakomodasi secara hukum. Sebuah Aliansi mahasiswa memberikan contoh, dalam KUHP, kekerasan seksual hanya diatur dalam kondisi perkosaan yang rumusannya tidak bisa memberikan perlindungan kepada perempuan korban kekerasan tersebut. Sementara RUU PKS ini dinilai akan bisa menyalurkan beberapa aturan yang berkenaan dengan penghapusan kekerasan secara seksual. Yakni, penanganan, perlindungan, pencegahan, pemulihan hingga penindakan pelaku terhadap kasus ini.
Disisi lain, aksi mujahid ini seharusnya juga menyuarakan aspirasi terkait perlindungan perempuan ini. Mengingat, dalam Islam wanita sangat dihargai. Namun, sayang aksi ini sarat kepentingan politik dengan empat isu terkini. Padahal RUU PKS ini memiliki nilai urgensi yang tinggi. Bagaimana mungkin membiarkan penjahat seksual berkeliaran menginjak hak-hak wanita? Sebelumnya juga terdapat imbauan dari MUI yang mana mengatakan untuk tak ikut parade ini. Karena MUI menilai aksi ini hanya akan menimbulkan efek negatif serta dinilai mampu memecah belah bangsa.
Sehingga dapat disimpulkan jika aksi ini dinilai sebagai kepentingan politik semata. Hal ini tercermin dari masalah yang akan diangkat kepermukaan, yakni empat isu terkini tersebut. Terlepas dari pro dan kontra, agaknya RUU PKS ini memanglah sangat krusial mengingat aturan yang diberlakukan dapat melindungi seluruh hak-hak wanita kedepannya.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik