Ambivalensi Kritik Terhadap Pembagian Sertifikat Tanah Ala Jokowi
Oleh : Ricky Rinaldi )*
Menurut data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN), Indonesia saat ini memiliki total luas daratan mencapai 190.456.900 ha. Sebanyak 120.743.441,71 ha atau setara 63,5% merupakan kawasan hutan. Sementara kawasan yang bisa dimanfaatkan atau yang biasa disebut sebagai kawasan budidaya seluas 69.683.448,29 ha atau 36,5% dari total luas daratan Indonesia. Data inilah yang kemudian menjadi salah satu acuan pemerintah dalam membantah tuduhan bahwa 74% lahan Negara Kesatuan Republik Indonesia di kuasai oleh asing.
Polemik yang muncul dari kritikan keras Amien Rais terhadap pemerintahan Jokowi yang menyatakan bahwa program bagi-bagi sertifikat ala Jokowi adalah “pengibulan” sudah kepalang mencuat ke permukaan publik. Sehingga, tema ini menjadi populer belakangan. Pertanyaan yang paling mendasar adalah pengibulan semacam apakah yang dimaksud salah satu tokoh reformasi tersebut? Opini publik pun menjadi liar dan bertanya-tanya apakah sertifikat yang dibagikan adalah palsu atau apakah sertifikat yang dibagikan adalah milik asing. Hal ini tentu mesti diluruskan agar masyarakat tidak gaduh kemudian.
Diketahui sebelumnya bahwa reformasi agraria yang coba dijalankan oleh pemerintah adalah menertibkan tanah-tanah terlantar, baik sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, yang sudah habis masa berlakunya atau tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya. Tanah tersebut dicabut izinnya kemudiaan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat sebagai Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN) dan akan dibagikan ke masyarakat. Hal itu yang dinamakan redistribusi aset.
Upaya pemerintah adalah dengan berusaha secepat mungkin menyelesaikan dan membagikan sertifiikat tanah. Sampai dengan tahun 2017, realisasi redistribusi telah mencapai 262.189 bidang. Dan pada tahun 2018 akan ada 350.000 bidang yang di redistribusi dan selanjutnya untuk target redistribusi 2019 akan menjadi 1,5 juta bidang. Upaya ini dilakukan demi mengurangi konflik agraria di masyarakat. Selain itu, masyarakat juga diharapkan dapat mengelola tanah tersebut sehingga menjadi aset yang lebih produktif dan bermanfaat.
Kosa kata “pengibulan” yang dipilih Amien Rais dalam konteks pembagian sertifikat tanah merupakan tuduhan serius kepada pemerintahan saat ini. Melihat kerawanan konflik agraria yang terjadi di Indonesia semestinya harus dapat teratasi dengan instrumen yang jelas sebagai landasan kekuatan hukum dalam hal ini yang dimaksud adalah sertifikat tanah. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 659 konflik agraria sepanjang 2017, dengan luasan mencapai 520.491,87 hektar. Jumlah ini meningkat 50 persen dibandingkan tahun 2016. Konflik-konflik tersebut melibatkan sedikitnya 652.738 kepala keluarga. Dan konflik pada sektor perkebunan menempati posisi pertama yakni sebanyak 208 konflik atau 32 persen dari seluruh konflik yang ada sepanjang 2017.
Ungkapan yang di lontarkan Amien Rais merupakan sebuah provokasi politik yang memang bisa di jual menjelang tahun politik khususnya menghadapi pilpres 2019 dan isu yang di kembangkan adalah isu sejak zaman Orde Baru. Akan tetapi, data yang di munculkan tidak jelas, serta tidak dapat dijadikan data untuk menyerang kebijakan penerbitan dan pembagian sertifikat tanah Jokowi. Hal ini di pertegas dengan bantahan Bank Dunia yang menyatakan bahwa data yang digunakan tidak valid.
Kalau sekiranya Amien Rais mencoba fair dalam mengkritik, ia juga harus mampu menjelaskan dan membeberkan data bahwa pada masa sebelum pemerintahan Jokowi berlangsung, terdapat 2,2 juta hektar tanah yang di lepas kepada pelaku bisnis yang memang sebagian besar adalah kelompok bisnis yang berasal dari luar negeri (asing). Bahkan menteri kehutanan saat itu (periode 2009-2014) Zulkifli Hasan yang hari ini ketua umum PAN, telah mencetak rekor sebagai menteri yang paling banyak memberikan izin perkebunan melalui pelepasan kawasan hutan kepada kelompok bisnis tertentu. Artinya “pengibulan” yang diungkapkan oleh Amien Rais itu selain tidak berdasar dan tidak relevan, tuduhan itu sangat berlaku kepada kelompoknya. Mengutip pernyataan Rustam Ibrahim, bahwa biarlah jutaan rakyat kecil yang telah menerima sertifikat tersebut mengadili dan memutuskan kualitas ucapan Amien Rais.
)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)