Polemik Politik

Menolak Kampanye Peserta Pemilu di Tempat Ibadah

Oleh : Ahmad Dzul Ilmi Muis )*

Seluruh elemen masyarakat harus bisa menolak dengan tegas adanya praktik kampanye di tempat ibadah, pasalnya memang sudah sangat menyalahi aturan, terlebih tidak memposisikandan harus menggunakan tempat ibadah sebagaimanamestinya, yakni sebagai tempat untuk melakukan aktivitas peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk bisa memilih Anggota DPR, DPD, Presiden dan Wapres serta untuk memilih anggota DPRD, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Salah satu tahapan yang krusial dalam Pemilu adalah adanya kampanye politik sebagai ajang para peserta Pemilu untuk berlomba bisa mendapatkan simpati dari masyarakat, namun, apabila hal tersebut dilakukan dengan menghalalkan berbagai cara, maka tentunya juga akan melahirkan para pemimpin yang tidak amanah kepada rakyat.

Maka dari itu, hendaknya seluruh proses tahapan pemilu termasuk kampanye dilakukan sesuai dengan aturan dalam PKPU yang menuliskan prinsip dalam Pemilu adalah mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisiensi.

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum RepublikIndonesia (Bawaslu RI), Rahmat Bagja menolak adanya praktik politisasi dengan menggunakan isu-isu sensitif, utamanya adalah suku, agama, ras dan antargolongan(SARA). Bukan hanya itu, namun dirinya juga sama sekali tidak menyetujui kalau tempat ibadah justru digunakan untuk ajang berkampanye bagi seseorang atau peserta pemilu.

Dengan tegas, Rahmat Bagja meminta kepada seluruhjajaran Bawaslu untuk lebih meningkatkan kerjanya dan jugamelakukan pemantauan dengan baik. Menurutnya memang sudah saatnya bahwa praktik politisasi SARA harus segera ditiadakan, karena memang tidak seharusnya tempat ibadah digunakan sebagai ajang berkampanye.

Jangankan untuk melakukan kampanye, bahkan, menurutKetua Bawaslu tersebut, dirinya juga sama sekali tidak setuju apabila tempat ibadah digunakan untuk melakukan sosialisasi, apalagi sampai melakukan kampanye.

Lebih lanjut, kebergunaan tempat ibadah sejatinya adalah sebagai tempat untuk memanjatkan doa kepada Tuhan dan mengenai hal itu, maka tempat ibadah sangat terbuka bagi setiap orang. Namun, apabila tempat ibadah sudah dimasuki dengan kepentingan politik, maka sangat dikhawatirkan akanterjadi pengkotak-kotakan para jamaah lantaran mereka tidak satu prinsip.

Sehingga, meski sejatinya suatu tempat ibadah merupakan hak seluruh jamaah untuk bisa mengaksesnya, namun jangan sampai justru tempat ibadah tersebut menjadi ajang persaingan untuk para partai politik (parpol) yang sedang berkontestasi dalam ajang Pemilu 2024 mendatang. Karena misalnya hal tersebut terjadi, maka justru perpecahan di dalam umat akan terjadi, sehingga akan ada pelabelan tertentu pada tempat ibadah A seolah hanya dimiliki dan mampu diakses oleh parpol tertentu.

Semisal memang sudah terjadi stigma dan pelabelan ataupengkotakan akan suatu tempat ibadah yang dilabeli identikdengan suatu partai politik tertentu, maka justru akan menjadikan masyarakat menjadi tidak beribadah di suatu tempat tersebut karena adanya perbedaan pandangan politik. Maka dari itu, adanya praktik politisasi dengan menggunakan isu SARA harus ditolak oleh seluruh elemen masyarakat.

Dalam peraturan juga telah banyak dituliskan dengan sangat eksplisit bahwa melakukan politisasi SARA adalah hal yang harus ditolak dan tidak boleh dilakukan bahkan secara prinsipil, termasuk juga pelanggaran adanya praktik melakukan politik uang.

Diketahui bahwa beberapa saat sebelumnya, Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas mengatakan bahwa pihaknya sudah membuat aturan tegas terkait dengan adanya pelarangan aktivitas politik di rumah ibadah. Aturan tersebut, khususnya memang mengenai berjalannya Pemilu 2024 mendatang.

Menurutnya, menjadi sangat penting untuk seluruh elemen masyarakat dan publik agar bisa secara bersama-sama terus menjaga rumah ibadah dengan tidak merusaknya dan menambahkan unsur-unsur politik di dalamnya.

Sementara itu, sejumlah tokoh lintas agama juga telah sepakat untuk menolak dengan tegas penggunaan tempat ibadah untuk kegiatan politik praktis. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Deklarasi Damai Umat Beragama yang telah ditandatangani secara bersama pada 14 Januari 2023 lalu.

Salah satu perwakilan tokoh lintas agama tersebut, Habib Husein Ja’far Al Hadar menyampaikan bahwa para tokoh lintas agama itu berkumpul untuk menyamakan pandangan dan saling berkomitmen untuk tidak menggunakan rumah ibadah sebagai tempat melakukan kampanye atau aktivitas politik praktik lainnya, sebagaimana memang adanya larangan yang tertuang dalam UU Pemilu.

Pada kegiatan tersebut, para tokoh lintas agama ini juga berkomitmen untuk menguatkan komitmen kebangsaan, menguatkan moderasi beragama dan juga menghindari segala bentuk kebencian.

Tempat ibadah sejatinya memang harus digunakan dan juga difungsikan sebagaimana mestinya, sesuai dengan namanya, maka tempat ibadah adalah sebuah tempat yang dikhususkan untuk melakukan segala jenis bentuk peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, apabila terdapat sebuah praktik yang menyalahi kegunaan dasar dari tempat ibadah, apalagi sampai digunakan hanya untuk kepentingan politik praktis seperti berkampanye, maka seluruh elemen masyarakat harus bisa menolak dengan tegas hal tersebut.

)* Penulis adalah Alumni Fisip Unair

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih