Andai Prabowo Keturunan Jepang
Penulis : Ahmad Harris*
Mengundurkan diri merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh pemimpin di Jepang. Salah seorang perdana menteri Jepang, pada tahun 2011 mengumumkan pengunduran dirinya karena merasa gagal dalam memulihkan Jepang Pasca Tsunami Maret 2011. Masyarakat Jepang memang terbiasa untuk memegang teguh budaya tersebut alias Bushido, yaitu kode etik para Samurai yang terdiri dari nilai integritas, keberanian, kejujuran dan menjaga kehormatan. Salah satu nilai yang terkandung dalam Bushido ialah Meiyo, menjaga nama baik harga diri dengan perilaku kehormatan. Atas dasar nilai Meiyo inilah pemimpin di Jepang mengundurkan diri dari jabatannya jika merasa gagal melaksanakan tugas. Setidaknya, menurut mereka, pengunduran diri merupakan upaya untuk menjaga nama baik melalui pengakuan atas kegagalan yang telah dilakukan.
Sayangnya, nilai Meiyo tidak pernah ada dalam kamus pemimpin di Indonesia. Pemimpin yang telah melakukan kesalahan tidak jarang bersikeras untuk mempertahankan jabatannya. Parahnya, sejumlah orang yang pernah melakukan kesalahan di masa lalu, dengan bangga mencalonkan dirinya sebagai kandidat pemimpin di Indonesia. Salah satunya, Prabowo, salah satu dalang penculikan kasus 1998, kembali mencalonkan diri dalam Pilpres 2019. Alih-alih malu dengan masa lalunya, ia justru dengan gagah berani kembali melibatkan dirinya dalam ajang politik Indonesia. Namun, tak dapat dipungkiri, rakyat Indonesia memang memiliki pribadi yang sangat rendah hati sehingga mampu memaafkan dan justru mendukung para penculik aktivis 1998.
Setidaknya, Prabowo saat ini telah dimaafkan oleh 30% rakyat Indonesia yang sekaligus menjadi pendukung setianya. Mungkin mereka ingin memberikan kesempatan kedua bagi Prabowo untuk melayani negara Indonesia. Sayangnya, dalam proses Pilpres 2019, Prabowo kembali melakukan berbagai kesalahan yang memalukan. Salah satunya ialah ketidakcermatannya dalam menanggapi skandal Hoax Ratna Sarumpaet. Saat Indonesia sedang fokus pada penanganan gempa Palu, ia tampil sebagai pahlawan kesiangan yang meminta keadilan untuk Ratna Sarumpaet. Tak hanya bermotifkan keadilan, kepentingan politik pun ia bawa dengan menuduh kandidat lain sebagai dalang dari penganiayaan Ratna Sarumpaet. Sayangnya, setelah kebenaran terungkap, tak ada wacana yang terdengar dari kubu Prabowo untuk mengundurkan diri sebagai tanda permintaan maaf.
Tak lama setelah itu, Prabowo kembali mengucapkan permohonan maaf yang sifatnya formalitas. Atas kampanyenya, sebagian besar warga Boyolali turun ke jalan dan melakukan demonstrasi untuk memprotes pernyataan Prabowo yang dianggap melecehkan. Bahkan, atas kejadian tersebut, warga Boyolali menyatakan sikap untuk tidak mendukung Prabowo dalam Pilpres 2019. Dalam kurun waktu tak sampai satu bulan, Prabowo meminta maaf untuk kedua kalinya. Namun, ia tak juga mengundurkan diri dan hanya sampai pada permohonan maaf yang formalitas.
Terakhir, yang paling parah dari kedua kesalahan itu ialah sikapnya dalam mengintimidasi media. Menurut Prabowo, media merupakan antek asing yang ingin menghancurkan NKRI karena tidak memberitakan 11 juta orang yang mengikuti Reuni 212 di Monas. Entah darimana angka itu datang, pastinya Prabowo ingin agar media menggaungkannya. Sedikit banyak, perilaku Prabowo mengingatkan kita dengan Departemen Penerangan sebagai lembaga yang mengatur media agar sesuai dengan kepentingan penguasa pada Orde Baru. Alih-alih membuat Indonesia jaya kembali (Make Indonesia Great Again), Prabowo tampaknya ingin membuat Orba Jaya kembali.
Sayangnya, ia masih belum mampu menyadari bahwa sepanjang Pilpres 2019 terdapat 3 kesalahan yang telah ia lakukan. Mulai dari skandal Hoax, pelecehan, hingga intimidasi terhadap demokrasi sudah ia kantongi selama kontestasi politik, Pemilu 2019. Meski Pak Prabowo bukan keturunan Jepang, setidaknya tirulah budaya mengundurkan diri ala Jepang untuk menjaga kehormatan dan nama baik Anda sekaligus menebus kesalahan yang telah dilakukan.
*) Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Agung