Cuitan Media Sosial

Bersama Melawan Hoaks Yang Merajalela

Oleh: Rivka Mayangsari)*

Kemudahan dalam menyebar maupun mengakses segala informasi melalui media online, merupakan bagian dari kemajuan teknologi yang terus berkembang dari masa ke masa. Tidak dapat dipungkhiri bahwa kemajuan tersebut juga menciptakan celah yang dapat digunakan oknum tertentu demi mencapai kepentinganya sendiri. Salah satu diantaranya manipulasi informasi atau yang sering disebut dengan berita Hoaks. Di sisi lain, minimnya pengetahuan dan sifat kritis masyarakat dalam menyeleksi informasi juga menjadi pintu masuk bagi para oknum tersebut untuk melancarkan aksinya. Hanya dengan sebuah permainan kata dan rekayasa gambar saja, masyarakat tentu dengan mudah bersimpati dengan berita yang disebarkan tanpa mencari  fakta kebenarannya. Seperti berita hoaks yang sedang panas saat ini adalah penyerangan terhadap para tokoh agama atau hutang pemerintah yang semakin banyak.

Kapolri Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian telah menegaskan dari 47 kasus penyerangan tokoh agama yang informasinya tersebar, terbukti hanya 5 kejadian yang benar-benar terjadi. Dan berdasarkan hasil olah TKP pun menyatakan pelaku penyerangan didominasi oleh orang yang mengalami gangguan jiwa. Pada kasus yang pertama terjadi di wilayah Jawa Barat, dengan korban Pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Umar Basri. Beliau dilaporkan telah dianiaya seseorang usai melaksanakan ibadah salat subuh di masjid. Kedua, penyerangan terjadi di Blok Sawah Kelurahan Cigondewah Kaler, Kota Bandung, Jawa Barat, dengan korban Ustadz Prawoto yang meninggal dunia setelah diserang orang yang diduga mengalami sakit jiwa. Ketiga, aksi penolakan masyarakat terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Banten. Kejadian tersebut terjadi karena warga curiga terhadap simbol agama dan kegiat syiar agama di rumahnya yang tidak sesuai. Keempat, peristiwa penyerangan rumah ibadah dan seorang pastur di Sleman, Yogyakarta, dan menyebabkan sedikitnya lima orang jemaat yang tengah melakukan ibadah bersama Pastur Romo Karl Edmund Prier terluka. Dan yang kelima, percobaan penyerangan terhadap KH Hakam Mubarok, yang merupakan Pimpinan Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem Paciran, Lamongan, Jawa Timur.

Penyebaran informasi mengenai penyerangan terhadap tokoh agama lebih dominan terjadi kepada para ulama. Hal ini tentunya menimbulkan berbagai opini di masyarakat, dengan jumlah umat Islam yang banyak di Indonesia. Ada pihak yang beropini dengan mengaitkan kejadian tersebut dengan pembunuhan ratusan ulama di Jawa Timur sebelum pemberontakan PKI tahun 1948 dan jasadnya ditemukan di sumur tua Magetan, Jawa Timur. Ada pula pihak lain, yang juga mengaitkan dengan kasus “Naga Hijau”. Istilah naga hijau mengacu pada pembunuhan sejumlah guru agama dan kyai di Jawa Timur dengan dalih santet menjelang reformasi di rentang tahun 1996-1998.

Dari hasil analisis Porli, grafik isu penyebaran hoaks penyerang terhadap sejumlah tokoh agama meningkat sejak 2 Februari 2018 dan mengalami penurunan khususnya isu penyerangan ulama yang dikaitkan dengan kebangkitan PKI terjadi pada 27 Februari 2018. Hal ini, dikarenakan pada 26 Februari 2018 Polri berhasil membongkar sindikat penyebar berita hoaks penyerangan ulama dan kebangkitan PKI yang ternyata bersarang dalam tubuh Family Muslim Cyber Army (MCA) secara serentak di lokasi berbeda.  Selain itu, polisi juga melihat adanya keterhubungan antar pelaku penyebar isu penyerangan ulama di wilayah Jabar, Jatim Jabar dan Banten. Dan pelaku-pelaku tersebut juga merupakan anggota dalam MCA dan merupakan mantan dari kelompok Ex-Saracen.

Peneliti dari Departemen Komunikasi dan Informasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Savic Ali menyebutkan ada tiga hal yang khas dari kelompok MCA: anggotanya anonim, biasa menyebarkan informasi tidak benar, dan berusaha menjatuhkan kredibilitas Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Cara kerja kelompok ini, yakni dengan menggunakan isu agama karena diaanggap hal tercepat untuk mempengaruhi rakyat Indonesia. Kemudian, memakai sumber tidak jelas untuk membuat informasi yang keliru. Apapun yang mereka sampaikan adalah sesuatu untuk menjatuhkan pemerintah, meski isinya tidak benar. Setelah Ahok kalah dalam pilkada, sasaran kelompok ini beralih ke pemerintahan Joko Widodo. Anggota grup ini belakangan diketahui memainkan isu kebangkitan PKI dalam insiden penyerangan ulama. Pihaknya menilai ketika Jokowi melakukan kampanye saat Pilpres 2014, dia di-black campaign oleh Jonru dan kawan-kawan sebagai PKI. Dan awal kedekatan Jonru dengan MCA terungkap dalam postingan Jonru melalui akun facebook-nya pada 29 Mei 2017. Dimana Jonru pernah mengunggah keterangan soal MCA yang menyebutkan “Bukanlah suatu organisasi lembaga, komunitas, yayasan, parpol, perusahaan, ataupun organisasi masyarakat. Namun, siapapun yang menyuarakan dakwah membela kebenaran di media sosial adalah bagian MCA.”

Sementara, menurut Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan menyatakan hasil prediksi dan deteksinya, bahwa kasus penyerangan terhadap tokoh agama yang terjadi akhir-akhir ini adalah salah satu bagian dari kampanye hitam yang dilancarkan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Mengingat tahun 2018-2019 merupakan tahun politik maka akan marak kampanye hitam dengan wujudnya isu-isu PKI, agama, SARA, politik identitas.

Munculnya opini-opini tersebut tentunya dapat menimbulkan gejolak dan benturan di masyarakat yang berujung pada perpecahan di masyarakat, karena melihat korban yang disebutkan dalam berita hoaks tersebut didominasi dengan korban seorang ulama. Selain itu, dampak lainnya juga akan berimbas pada pemerintah, yang dinilai tidak bisa melindungi warga negaranya dalam memimpin suatu negara. Aparat kepolisian tentunya telah berkordinasi dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam mengusut dari motif serta menangkal kasus berita hoaks yang sedang marak belakangan ini.

Oleh karena itu, sebagai warga negara yang baik untuk menjaga ketentraman dan keharmonisan Indonesia ini, kita harus lebih selektif dan tidak gegabah dalam menangkap dan mengambil keputusan setiap informasi yang diperoleh baik dari media sosial dan media konvensional lainnya. Masyarakat tanpa terkecuali juga dituntut untuk lebih aktif dalam menangkal segala persebaran informasi yang dapat meresahkan masyarakat Indonesia. Selain itu, agar terlaksananya Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 secara damai, kita juga diharapkan tidak mudah dipolitisasi dan diprovokasi oknum-oknum yang punya kepentingan tersebut. Apalagi sampai terpancing dan ikut serta menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya.

 

)* Penulis adalah Mahasiswi Universitas Lancang Kuning

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih