Apresiasi Keberanian Joko Widodo Naikkan Harga BBM
Oleh : Ahmad Harris*
Menjelang Pilpres, Jokowi selalu dituding sebagai pemimpin populis, yaitu pemimpin yang mengambil kebijakan untuk mendapatkan popularitas tanpa peduli dengan manfaat serta kerugian yang ditimbulkan. Padahal, Jokowi selalu berani mengambil resiko apapun demi terciptanya kesejahteraan rakyanya. Tuduhan pencitraan pun tidak jarang dialamatkan kepada Jokowi oleh lawan politiknya, agaknya terlalu berlebihan jika menyebutkan Jokowi sebagai pemimpin yang hanya mementingkan popularitas dalam setiap kebijakannya. Sebut saja masalah kenaikan BBM yang dilakukan oleh Jokowi. Bahkan, ia pula yang membuat kebijakan pencabutan subsidi BBM. Kebijakan tersebut tentu sangat tidak populer di masyarakat dan justru mendapatkan penolakan.
Penolakan tersebut dikarenakan pemahaman masyarakat yang kurang menyeluruh oleh masyarakat. Setidaknya, terdapat 3 faktor yang menyebabkan Jokowi berani untuk mengeluarkan kebijakan tersebut meski harus mendapat penolakan. Pertama, kenaikan harga BBM mengikuti kenaikan harga minyak dunia. Setelah pencabutan subsidi oleh Jokowi, harga BBM di Indonesia harus disesuaikan dengan biaya minyak mentah yang diimpor dari luar negeri. Dengan kata lain, jika harga minyak dunia naik, maka harga BBM di Indonesia akan naik. Sementara jika minyak dunia turun, maka harga BBM di Indonesia pun akan turun.
Lantas, timbul pertanyaan mengapa Jokowi mencabut subsidi BBM? Pada dasarnya, kebijakan pencabutan subsidi BBM ini telah dicanangkan dalam UU Nomor 20 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional. Pemimpin sebelum Jokowi mengetahui bahwa subsidi BBM merupakan beban besar bagi anggaran negara. Dari sisi masyarakat, subsidi memang dapat mengurangi harga bagi masyarakat. Namun, dari sisi pemerintah, subsidi adalah pengeluaran berat bagi pemerintah, terkhusus untuk subsidi BBM. Sejumlah ahli menilai pemberian subsidi energi dapat menimbulkan dampak dan memunculkan biaya besar yang mencakup biaya ekonomi, biaya fiskal, biaya sosial dan biaya lingkungan. Besarnya dampak yang tidak menguntungkan bagi negara atas subsidi BBM menyebabkan sejumlah negara di dunia juga berhenti untuk memberikan subsidi.
Sayangnya, pemimpin terdahulu tak berani mengambil kebijakan pencabutan subsidi karena takut popularitasnya kian menurun di mata masyarakat. Padahal, dengan melakukan kebijakan pencabutan subsidi ada dampak positif yang dapat diperoleh. Berdasarkan data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) tahun 2013, total anggaran subsidi BBM yang disalurkan pemerintah mencapai Rp 210 triliun. Dari angka subsidi tersebut, BPH Migas menemukan bahwa sekitar 53% anggaran subsidi dinikmati oleh kendaraan pribadi roda empat atau ditaksir mencapai Rp. 100 triliun. Dapat dikatakan, selama ini yang menikmati subsidi sudah tidak tepat sasaran. Di samping itu, dengan penghapusan subsidi BBM, pemerintah berhasil menghemat anggaran sebesar Rp 186 triliun.
Adapun dana yang cukup besar tersebut dialokasikan oleh Presiden Jokowi untuk kepentingan rakyat kecil melalui pos anggaran lainnya. Mulai dari dana perlindungan sosial, kesehatan, dana desa, pengembangan armada perbatasan, sistem informasi dan logistik kelautan, pendidikan, pertanian, perumahan rakyat dan pekerjaan umum mendapatkan dana tambahan yang dapat mendukung terselenggaranya pemerintahan dengan sangat baik. Kebijakan Jokowi dalam pencabutan subsidi BBM serta kenaikan harga BBM memang tidak populer di mata masyarakat. Namun, kebijakan tersebut justru menunjukkan bahwa Jokowi berani mengambil sikap untuk kepentingan nasional yang jauh lebih penting dan mendesak.
*) Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Agung