Banyak Pembaruan dalam KUHP Nasional, Akademisi: KUHP Utamakan Nilai-Nilai Bangsa
Padang – Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) melaksanakan kegiatan sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bertempat di Santika Premere Hotel, Padang, Sumatera Barat (Sumbar), pada Rabu (11/1/2023).
Acara yang diikuti oleh sekitar ratusan orang dari berbagai elemen tersebut menghadirkan narasumber Guru Besar Universitas Negeri Semarang (UNNES), Prof. Dr. H. R. Benny Riyanto, SH., M.Hum, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH., MA., Ph.D, dan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat MAHUPIKI, Dr. Yenti Ganarsih, SH., MH.
Hadir memberikan sambutan, Rektor Universitas Andalas, Prof. Dr. Yuliandri, SH., MH. dan Sekjen MAHUPIKI, Dr. Ahmad Sofian, SH., MA.
Dalam sambutannya, Dr. Ahmad Sofian mengungkapkan, Indonesia memiliki KUHP Nasional yang mengutamakan nilai-nilai bangsa dan mengadopsi nilai-nilai HAM universal.
“Tentu kita bangga karena ini merupakan karya anak bangsa dari lintas generasi dan mampu menjadi standar kehidupan berbangsa dan bernegara”, ungkapnya.
Senada, Prof. Yuliandri juga menilai bahwa telah terjadi transformasi hukum pidana, karena selama ini Indonesia menggunakan KUHP dari produk jaman kolonial.
“Dengan kehadiran UU No. 1/2023 tentang KUHP mampu menandai sejarah hukum Indonesia bagaimana kita melakukan reformasi dan pembaruan hukum nasional”, jelasnya.
Telah dapat banyak pembaruan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional, hal tersebut menurut Guru Besar FH UI lantaran Pemerintah RI ingin membangun sebuah sistem hukum yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Di acara sosialisasi KUHP ini, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo menyampaikan bahwa sejatinya nilai-nilai Indonesia memang sangat berbeda dengan nilai di negara Barat, sehingga sama sekali tidak bisa diperbandingkan.
Sementara itu, adanya Living Law dalam KUHP Nasional, menurutnya, merupakan sebuah penghargaan kepada masyarakat hukum adat. Namun ada kekeliruan dari masyarakat tatkala diterapkannya living law, maka ada penyimpangan terkait asas legalitas, tentu ini tidak benar karena semua harus ada bukti ilmiah bahwa peraturan tersebut masih diterapkan di masyarakat dan diatur dalam Perda.
“Berarti negara telah memperkuat peran dari hukum adat dalam kehidupan bernegara. Yang menjadi concern adalah terkait sanksi hukum adat yang kerap kali memberatkan, sehingga kami membatasi bahwa denda sesuai dengan kategori tertentu”, ungkap Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia ini.
Tentang pasal unjuk rasa menyebabkan kerusuhan dalam KUHP Nasional, disebutkan bahwa unjuk rasa yang tidak dilakukan pemberitahuan, itupun sama sekali tidak bisa ditangkap, namun hanya akan dibubarkan.
“Namun, apabila unjuk rasa tanpa pemberitahuan dan menimbulkan kerusuhan, maka bisa dipidana”, sambung Prof. Harkristuti.
Masih dalam acara yang sama, Dr. Yenti Garnasih juga menuturkan bahwa terdapat rekodifikasi hukum pidana yang terbuka dan terbatas dalam KUHP Nasional, yang mana memungkinkan apabila ada pembaruan, tidak harus membuat Undang-Undang baru, melainkan cukup melakukan penyisipan saja.
“Dalam KUHP Nasional telah ada beberapa pembaharuan dan juga telah menganut nilai-nilai secara universal, yang sejak dulu hingga sekarang tetap ada. Tetapi ada hal-hal yang kurang sesuai dengan nilai Indonesia itu yang diperbarui”, pungkas Ketua MAHUPIKI tersebut.
Menurutnya, ada beberapa keunggulan dari KUHP Nasional karena merupakan bentukan dari anak bangsa, seluruh stakeholder masyarakat juga turut berperan di dalamnya, dengan tujuan bagaimana negara ini masyarakatnya tidak melakukan tindak kejahatan.
Sementara itu, Prof. Dr. Benny Riyanto juga menjelaskan bahwa KUHP lama peninggalan Belanda sudah ada sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, namun sampai saat ini belum ada terjemahan resminya, sehingga muncul banyak terjemahan yang berpotensi menimbulkan multitafsir. Selain itu, belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi mencerminkan dasar negara falsafah Pancasila.
Menurutnya, Pemerintah telah mengakomodasi seluruh masukan dari para stakeholder, mulai dari kementerian dan lembaga terkait hingga partisipasi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk juga para akademisi.
“Bukan hanya itu, namun juga telah dilakukannya public hearing yang telah dilaksanakan sesuai dengan arahan MK, yakni meaningful participation, yaitu adanya hak untuk didengarkan, hak untuk mendapat penjelasan dan hak untuk dipertimbangkan”, tutur Guru Besar UNNES tersebut.
Menurutnya, karena banyaknya masukan yang sangat beragam sudut pandang dari masyarakat, sehingga dalam KUHP Nasional mencoba untuk mencari jalan tengah, sebagai contoh dengan adanya Pasal Kohabitasi yang berstatus delik aduan.
Urgensitas mengganti KUHP lama menjadi KUHP Nasional adalah pertama karena telah terjadi pergeseran paradigma keadilan, yang dulu menggunakan paradigma keadilan retributif, menjadi keadilan yang korektif bagi pelaku, restoratif bagi korban dan rehabilitatif bagi korban maupun pelaku. Selain itu juga merupakan perwujudan reformasi sistem hukum secara menyeluruh yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa dan HAM secara universal.
*