Beda Pilihan Politik Itu Boleh, Tapi Jangan Sampai Merusak Persatuan
Oleh : Adi Ginanjar )*
Perbedaan pilihan politik tampaknya kini semakin mengancam persatuan dan kesatuan. Ajang lima tahunan ini menjadi topik panas yang selalu memicu beragam reaksi baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Hampir setiap pergelaran Pemilu pasti diwarnai dengan kericuhan masing-masing pendukung calon presiden. Tapi, geliat persaingan antara pendukung masing-masing calon presiden dan calon wakil presiden sudah terasa semenjak Pemilu 2014 lalu. Kalau Anda masih ingat, Pemilu 2014 yang lalu juga menimbulkan reaksi yang cukup mengejutkan.
Perbedaan pilihan politik kala itu bisa menjadi bahan perbincangan yang memanas baik di media sosial maupun di kehidupan sehari-hari. Tak sedikit teman yang memutuskan hubungan pertemanan di sosial media karena beda pilihan politik. Pemilu kali ini tak jauh berbeda. Kericuhan Pemilu lebih terasa serunya di sosial media. Masing-masing pendukung capres dan cawapres saling menghujat satu sama lain layaknya bukan berasal dari bangsa yang sama. Pertanyaannya, apakah semua perdebatan sengit itu benar-benar bernilai?
Politik Identitas Semakin Memperparah Kondisi
Kondisi dunia politik jelang Pemilu 2019 semakin parah dengan maraknya permainan politik identitas. Kalau Anda perhatikan, banyak hoaks maupun isu politik yang dikaitkan dengan suku, ras dan agama semakin banyak beredar. Misalnya pendukung pasangan B menuduh pasangan A bukan Islam. Sedangkan pendukung pasangan A juga menuduh pasangan B bukan Islam atau bahkan antek asing. Nah, hal-hal seperti inilah yang memicu perpecahan antar anak bangsa.
Perpecahan yang semakin lebar berkat provokasi hoaks cukup berbahaya bagi persepsi dan perilaku masyarakat. Meski ajang Pemilu hanya dilangsungkan lima tahun sekali, tapi dampaknya bisa sampai bertahun-tahun mendatang. Coba saja amati, berapa banyak teman yang masih merasa sakit hati karena pasangan yang mereka dukung kalah di ajang Pemilu 2014 lalu? Masih banyak bukan?
Kondisi ini semakin diperparah dengan sikap masyarakat yang masih mudah menerima informasi begitu saja dan langsung menganggapnya sebagai kebenaran tanpa melakukan cross-check terlebih dahulu. Hal ini tentu berbahaya bila dibiarkan. Indonesia seharusnya berkaca pada negara lain seperti Suriah yang hingga kini masih kacau balau karena perebutan kekuasaan dengan kelompok ISIS.
Kondisi Indonesia bisa lebih parah dari Suriah karena Indonesia lebih majemuk. Sedangkan Suriah merupakan negara dengan ideologi monolitik. Jadi, jangan berpikir apa yang terjadi di Suriah tak akan terjadi di Indonesia. Perpecahan bisa terjadi apabila tidak diantisipasi sejak dini.
Bangsa yang Masih Muda
Ancaman perpecahan di Indonesia bukan hanya disebabkan karena perbedaan pilihan politik saja. Perpecahan juga bisa terjadi karena usia negara kita masih muda belum genap seabad. Jadi, tak mengherankan apabila ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa masih sangat besar.
Buya Syafii Maarif pernah menyatakan, bangsa Indonesia saat ini masih berada dalam proses menjadi bangsa. Jadi, belum benar-benar menjadi bangsa karena pembentukan bangsa ini baru terpikirkan pada tahun 1920-an. Usia yang masih muda ini membuat Indonesia rentan terhadap ujian peristiwa politik. Sebagai contoh, perpecahan sudah sangat terasa pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Anda bisa merasakan perpecahan dari akar rumput sampai ke ujungnya.
Pembinaan Nasionalisme
Perpecahan karena perbedaan pilihan politik semakin diperparah dengan penggunaan sosial media sebagai ajang kampanye. Tak sedikit saudara kita yang berdebat di Facebook dan Twitter karena memiliki pilihan politik berbeda dan saling menjelekkan pilihan satu sama lain. Tak sedikit pesan hoaks yang disampaikan melalui sosial media berujung pada kekisruhan di dunia nyata. Bahkan kalau diperhatikan, hashtag-hashtag yang berkaitan dengan Pemilu 2019 kini menduduki peringkat tertinggi di Twitter.
Seharusnya, media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram bisa menjadi sarana pendidikan politik yang sehat bukan pemecah belah. Pendidikan politik dan nasionalisme sudah sewajarnya diperkenalkan kembali di sekolah maupun di masyarakat. Indonesia juga harus belajar dari negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan yang hingga kini masih terus melakukan pembinaan jiwa nasionalisme.
Akan lebih baik apabila kita mulai meninggalkan politik identitas. Politik ini hanya memecah belah persatuan yang sudah terjaga selama puluhan tahun. Indonesia ini sangat majemuk, jangan sampai terpecah belah hanya karena pilihan politik yang berbeda. Apabila ingin bersaing, bersainglah secara sehat dengan memaparkan visi misi masing-masing calon presiden. Kenali kelebihan dan kekurangan masing-masing capres dan cawapres. Pilihlah capres dan cawapres yang benar-benar mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila.
Kita juga perlu menyadari ajang Pemilu hanya dilangsungkan lima tahun sekali. Sekiranya tak layak menjadi alasan mengapa kita berseteru dengan saudara sendiri. Jangan sampai tali persaudaraan terputus setelah Pemilu berakhir. Jadi, beda pilihan itu boleh-boleh saja, tapi tetap saling menghormati. Toh, sejatinya kita memilih pemimpin bangsa terbaik yang berjuang demi kepentingan rakyatnya. Siapapun yang terpilih kelak, ya itulah pemimpin yang terbaik dari yang ada saat ini.
)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)