Polemik Politik

Bendera dan Buntutnya

Siapa yang inginkan permusuhan? Tidak ada. Siapa yang inginkan kerusuhan? Tidak ada. Siapa yang inginkan kehancuran? Tidak ada. Atau ada? Ya, barangkali ada. Tapi ia bukan manusia. Wujudnya mungkin manusia, tapi hatinya tidak.

Buntut dari peristiwa pembakaran bendera oleh beberapa anggota Banser di Garut, Jawa Barat, terserah apakah ia bendera tauhid (murni) atau telah dipolitisasi oleh sekelompok pihak (dalam hal ini HTI), masih berlanjut.

Meski pemeriksaan terhadap masing-masing pihak (pembawa dan pembakar bendera) sudah dilakukan. Upaya mendinginkan suasana, di tengah kecamuk dan pertengkaran di antara pihak terkait serasa muspro.

Di satu sisi, dalih yang digunakan adalah peristiwa pembakaran bendera bertuliskan kalimat tahlil adalah bentuk penodaan terhadap Islam. Di sisi yang lain, pembakaran tersebut sebagai upaya menyelamatkan Indonesia, sebab NKRI harga mati.

Saling sindir saling sikut di dunia maya seakan tidak ada habisnya. Hebohnya minta ampun. Orang-orang yang mendadak ‘pintar’, mendadak ‘peduli’ bermunculan. Yang anehnya, peristiwa ini di bawa ke wilayah pertarungan politik capres-cawapres 2019. Ah, aneh-aneh saja orang Indonesia.

Ke mana pertarungan wacana ini digiring? Ketika pihak Z sibuk dengan’aksi-aksi’, pihak Y melancarkan serangan mematikan. Konflik di berbagai dunia Muslim, termasuk di antaranya yang terjadi di Suriah, dikaitkan dengan insiden di Garut.

Kok bisa? Ya. Ada ‘kekhawatiran’ bahwa saat di mana bendera hitan berlafadzkan tahlil sudah berkibar di sebuah negeri, maka gelombang kehancuran akan segera tiba. Maka jangan biarkan bendera tersebut berkibar. Ingat, benderanya, bukan kalimat tahlilnya!

Tapi apa iya sebabnya seperti itu? Siapa atau apa sebenarnya perantara kehancuran negeri-negeri tersebut? Bendera? Orang di balik bendera? Paham yang dianut pembawa bendera? Ketiganya? Sudah? Atau ada faktor lain, yang lebih mendasar mungkin?

Oke. Mari sejenak ngaji sejarah. Kita ambil satu contoh, Suriah.

Tahun 2011 dikatakan sebagai tahun mula pergolakan yang ada di Suriah. Suriah yang berada di bawah kepemimpinan Basar Al-Asad yang bernaung di partai Baath memang otoriter. Tapi sikapnya ini melanjutkan sikap politik ayahnya, Hafez Al-Asad,  yang turun ‘tahta’ di tahun 2000.

Al-Asad muda tidak pernah bermimpi dan diimpikan untuk jadi pemimpin masa depan Suriah. Lah wong dia seorang dokter gigi. Yang seharusnya melanjutkan kepemimpinan otoriter Hafez adalah kakaknya, yang ternyata mengalami kecelakaan tragis yang merenggut nyawanya.

Di masa kepemimpinan Hafez, hampir tidak ada istilah kebebasan di Suriah. Benarkah? Yang dimaksud tidak ada kebebasan di sini adalah kebebasan di ruang politik. Di setiap pemilu (kalau memang disebut pemilu) hampir 99.99% suara dikantongi Hafez.

Suriah memang bukan negara demokrasi. Oleh karena itu, ketika suara kebebasan semakin dibungkam di bawah kepemimpinan Basar, di sisi lain di negara-negara Arab lain ada semacam pemberontakan (Arab Spring) melawan rezim yang menindas. Maka, momen itulah yang akhirnya dimanfaatkan oleh para pejuang Suriah.

Pun kiranya perlu ditelisik di pihak mana Suriah dalam peta perpolitikan dunia. Amerika dengan sekutu-sekutunya atau Rusia dengan sekutu-sekutunya. Lah, apa pentingnya?

Loh, konflik yang terjadi di Suriah bukan semata-mata konflik internal. Sebabnya bukan saja dipicu persoalan internal, tetapi juga ada intervensi dari pihak lain. Pun demikian dengan sikap dan upaya penyelesaian konflik.

Bersama Rusia, Suriah mengambil jarak (bisa jadi terlibat dalam konfrontasi) dengan Amerika. Termasuk ketika menyangkut persoalan negara Israel. Artinya, kebijakan politik yang dibuat harus dibuat secara bijak (menurut kepentingan kelompok).

Ketika muncul gelombang kerusuhan, bisa jadi diakibatkan akumulasi kekecewaan dari rakyat Suriah yang begitu dahsyatnya. Ditambah intervensi dari pihak-pihak lain sebagaimana disebut di atas.

Yang jelas, setiap pemberontakan ada pemicunya, di manapun itu. Bunuh diri dengan cara membakar tubuhnya di depan istana. Keberanian yang tergugah ketika yang jadi korban kekerasan adalah anak-anak, dan sebagainya.

Kita ambil contoh lain, singkat saja. Arab Saudi. Negara yang dikenal berpaham Wahabi (meskipun beberapa pihak ada yang kurang setuju). Apakah paham Wahabiyah seragam? Tidak. Mereka saling ‘berontak’. Apa buktinya?

Di tahun 1979 terjadi pemberontakan besar-besaran oleh sekelompok Wahabi fundamentalis. Di bawah komando Juhaiman Al-Utaibi, pemberontak yang ‘lebih radikal’ dibanding paham Wahabinya pemerintah, menguasai area Masjidil Haram.

Sebabnya, pemerintah dianggap telah masuk dalam pusaran arus materialisme, hedonisme. Negara Islam kok bekerja sama dengan Amerika Serikat, bahkan bergantung pada bantuan-bantuannya. Negara macam apa ini. Mungkin begitu isi hati para pendukung Juhaiman.

Pemberontakan ini akhirnya melebar ke negara-negara lain. Turki, Pakistan, Libya, Iran. Ada keterkaitan? Bisa iya, bisa tidak. Sebab internalnya mungkin beda, tapi semangatnya sama. Melawan sesuatu yang dinilai akan merusak bangunan dan pondasi bangsa.

Pemberontak Suriah dengan semangat menuntut kebebasannya dan pemberontak Juhaiman dengan semangat penerapan paham Wahabinya, dengan tanpa intervensi Amerika.

Sederhananya, ada kekecewaan terhadap sistem yang dipakai selama ini. Buntutnya adalah kerusuhan, pemberontakan. Harapannya, ada musim semi. Intinya, semua dimulai dari kekecewaan. Langkah yang diambil seperti apa, atribut yang digunakan apa, pada dasarnya mengikuti alur yang sudah dimulai pihak lain.

Relevansinya dengan yang terjadi di Indonesia? Perlu dipertegas bahwa bendera adalah sarana, atribut. Ia bisa bernilai positif, bisa juga negatif. Tergantung pemakaian.

Jika mengambil contoh kehancuran negara-negara Muslim sebab berkibarnya bendera hitam bertuliskan kalimat tahlil, maka juga harus dicari akar faktornya. Apa sebab muncul pemberontakan? Kok bisa sampai tahap kehancuran sebuah negara?

Indonesia bisa saja menambah daftar negara yang rusuh dan hancur. Berharap? Tentu tidak. Ingat paragraf pertama. Hanya manusia-manusia berjiwa bukan manusia yang inginkan kehancuran.

Tapi bisa saja terjadi, jika kemarahan massa terus menggumpal. Kebebasan dipasung. Nalar kritis dikecam, dinilai subversif.

Ah, sudahlan. Kalian lebih tahu.

 

Tulisan pernah di muat dalam qureta.com

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih