Benny Wenda Tak Pantas Terima Oxford Freedom Of The City Award
Oleh : Aloysius Abisai*
Penghargaan kepada Ketua Persatuan Gerakan Pembebasan Untuk Papua Barat (ULMWP), Benny Wenda berupa “Oxford Freedom of The City Award” dari Dewan Kota Oxford pada 17 Juli 2019 lalu, terasa janggal dan kurang tepat. Walupun penghargaan tersebut bukan penghargaan resmi dari pemerintah Kota Oxford ataupun Pemerintah Inggris, namun penghargaan dari Dewan Kota (sejenis DPRD tingkat Kota) dapat dijadikan mercusuar atau kampanye oleh kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) Papua, khususnya oleh Benny Wenda yang sejak tahun 2002 telah bermukim di Inggris karena mendapat suaka dari Pemerintah Inggris tahun 2002. Tentu dengan penghargaan itu Benny Wenda akan lebih nyaring menyuarakan kemerdekaan Papua di dunia internasional.
Hal yang menjadi pertanyaan, dengan kriteria apa Dewan Kota Oxford memberikan penghargaan itu kepada Benny Wenda, seorang separatis yang selalu menggunakan cara kekerasan dan teror (membunuh, menganiaya, memperkosa, membakar rumah dan lahan, dll) untuk mencapai tujuannya. Perlu diketahui bahwa ulah Benny Wenda telah menimbulkan korban di kalangan masyarakat sipil, khususnya wanita dan anak-anak. Oleh karena itu, Benny Wenda dan kelompoknya tidak mendapat simpati dari rakyat Indonesia, khususnya Papua. Benny akhirnya melarikan diri ke Inggris, sedangkan kelompoknya ada yang tewas, dan sebagian hidup di hutan karena kebaradaannya ditolak rakyat Papua yang cinta damai, Di hutan-hutan Papua itulah dengan komando dari Benny Wenda mereka sering melakukan teror terhadap masyarakat Papua.
Ditinjau dari kriteria obyektif yang universal, tidak ada faktor pendukung bahwa Benny Wenda bisa memperoleh penghargaan, Dia mempunyai sifat yang jauh dari sifat perjuangan Nelson Mandela maupun Mahatma Gandhi, yang anti kekerasan, dekat dan didukung oleh mayoritas rakyatnya serta berani berhadapan dan berdialog dengan pemimpin negara, bukan lari dari daerahnya hidup enak di negeri orang, meninggalkan kelompoknya yang hidup sengsara di hutan belatara. Sama sekali tidak ada sifat kemanusiaan sebagaimana tokoh yang seharusnya mendapat penghargaan.
Kemudian seorang separatis yang menggunakan kekerasan untuk ukuran Hukum Internasional tidak diakui sebagai pahlawan. IRA di Irlandia Utara (sekarang bagian dari Inggris Raya) ditumpas oleh Militer Inggris, di Spanyol gerilyawan Basque yang akan memisahkan wilayah Catalan (sekitar Barcelona) dari Spanyol juga ditumpas oleh militer Spanyol. Para pemimpinanya tidak ada yang mendapat penghargaan dari manapun, apalagi di Negara Rusia, Cina dan Myanmar, separatis ditumpas, warganya pun diusir. Sangat disayangkan, Dewan HAM PBB justru berdiam diri dengan dalih separatisme bukan merupakan “the right to self-determantioan” seperti yang terkandung dalam Declaration Universal of Human Rights PBB tahun 1945. Apalagi jika gerakan tersebut menggunakan kekerasan seperti teror untuk mencapai tujuannya, justru gerakan ini yang bertentangan dengan HAM,
Oleh karena itu, tidak sepantasnya jika orang yang selalu menggunakan kekerasan justru mendapat penghargaan. Penghargaan yang tidak mencantumkan prestasi atau jasa apa yang telah dilakukan, baik itu untuk kemanusiaan, negara, ilmu pengetahuan maupun perdamaian. Sudah sewajarnya kita bangsa Indonesia mempertanyakan kriteria penghargaan tersebut, tanpa mengurangi kebebasan dalam memberikan penghargaan. Maka jika ternyata penghargaan tersebut tidak pantas, tentu dapat dievaluasi di masa mendatang. Bagi kita Bangsa Indonesia, penghargaan tersebut tidak mendatangkan manfaat untuk kemajuan, kesejahteraan, dan perdamaian wilayah, negara dan dunia.
*Penulis adalah Pegiat Media Sosial di Wilayah Papua