Berbagai Kalangan Mendukung Percepatan Pengesahan RKUHP
Oleh : Dewi Ayu Lestari
Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila, memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergi, komprehensif, dan dinamis, melalui upaya pembangunan hukum. Salah satu proses pembangunan hukum yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah khususnya di bidang hukum pidana adalah dengan melakukan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah disusun selama lebih dari 50 tahun dan telah melibatkan ahli-ahli hukum pidana dalam perjalanannya. RKUHP merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyusun suatu sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda. Sejak kemerdekaan, KUHP warisan kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie) telah berkembang secara masif.
Perkembangan ini berkaitan erat dengan hukum pidana murni maupun hukum pidana administratif, terutama mengenai 3 (tiga) permasalahan utama dalam hukum pidana sebagaimana dikemukakan oleh Packer dalam The Limits of the Criminal Sanctions, yaitu perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act), perumusan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), dan perumusan sanksi baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment) sehingga terjadi dekodifikasi hukum pidana yang menyebabkan beberapa ketentuan dalam KUHP dikeluarkan menjadi undang-undang tersendiri.
Ada dua hal menarik yang tertuang di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dua hal tersebut yakni asas kepastian dan keadilan. Menurut Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Hubungan Antar Lembaga, Dhahana Putra, alasan ia mendukung segera disahkannya RKUHP karena didalam RKUHP memuat asas keadilan yang belum termaktub ke dalam KUHP saat ini. Dhahana berpendapat pada saat ada suatu case (kasus), walaupun itu ada di norma dan ada di pasal namun tidak menunjukkan keadilan, maka hakim memprioritaskan nilai-nilai keadilan.
RKUHP dinilai Dhahana sejalan dengan konsep pembinaan dalam sistem pemasyarakatan. Pemasyarakatan memberikan ruang kepada si pelaku untuk memperbaiki diri, memberikan suatu tanggung jawab, juga meningkatkan pengetahuan atau keterampilan baginya supaya dapat berguna di masyarakat kelak.
RKUHP disusun dengan mempertimbangkan tiga hal, yaitu rekodifikasi terbuka, demokratisasi, dan modernisasi. Pada rekodifikasi terbuka, KUHP mengalami perubahan karena kondisi filosofisnya tidak lagi sesuai dengan Pancasila, sosiologis maupun yuridisnya. Kedua adalah demokratisasi. Pada saat Indonesia merdeka, demokrasi menjadi suatu pilar utama, jadi itu pun juga harus disesuaikan dengan hukum pidana. Selanjutnya adalah modernisasi. Karena ini warisan kolonial, kita ingin membuat sistem hukum yang sesuai dengan nafas Indonesia, sesuai dengan Pancasila, konstitusi, adab di Indonesia, prinsip hukum, hak asasi manusia, dan tentunya harmonisasi.
Dukungan juga datang dari Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Karkristuti Harkrisnowo agar RKUHP segera disahkan. Sebab, KUHP yang saat ini digunakan merupakan produk kolonial Belanda. Dalam KUHP ini terdapat 628 Pasal yang berisi lebih banyak pembaruan terhadap hukum pidana di Indonesia. Hal ini menyebabkan, penerapan sanksi pidana dinilai menjadi tidak terarah pada satu pasal tertentu lantaran setiap ada undang-undang, ada pula sanksi pidananya. Karkristuti menilai jika tidak ada pembaruan akan terjadi bermacam-macam intepretasi dan menimbulkan macam-macam sistem pula. Ia berpendapat RKUHP memiliki urgensi yang cukup tinggi untuk segera disahkan agar dapat memperbaiki sistem yang ada. Guru besar Hukum Pidana ini mengatakan perbedaan antara RKUHP dengan KUHP yang sekarang hanya bisa dirasakan oleh ahli hukum. Sementara orang awam hanya mengetahui bahwa RKUHP itu mengubah pasal-pasal penghinaan presiden, perzinaan, dan lain-lain. Meski begitu, Harkristuti mengakui bahwa RKUHP belum sempurna lantaran memang buatan manusia. Sebab itu, maka dibuka adanya dialog dan komunikasi dengan masyarakat.
Menanggapi hal ini, Ketua PBNU Bidang Keagamaan KH.Ahmad Fahrur Rozi mengatakan, pihaknya juga mendukung agar RUU KUHP segera disahkan. Alasannya, kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang saat ini dimiliki dan digunakan untuk menegakan hukum pidana di Indonesia, adalah peninggalan Belanda yang diterjemahkan dari Kitab Belanda Het Wetboek van Strafrecht. Ia berpendapat bahwa kitab yang sudah berumur seratus tahun lebih ini, sudah kurang relevan dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pembaruan dan perubahan adalah keniscayaan agar bisa menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat Indonesia saat ini. RKUHP ini harus bisa menjadikan alat untuk membuat keamanan dan kenyamanan bukan untuk negara ataupun pemerintahan saja tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam penuturannya, Gus Fahrur mengatakan bahwa selama 59 tahun para perumus dan penyusun RKUHP pastinya telah melibatkan para ahli dan pakar hukum di Indonesia. Tentunya perubahan RKUHP ini di susun berdasarkan kondisi perkembangan teraktual masyarakat Indonesia agar dapat menjamin perlindungan hukum yang lebih baik. Sebuah dukungan dari para ahli yang akhirnya muncul ke permukaan, tidak serta merta tanpa penelaahan dalam waktu yang panjang. Melihat dari penjabaran mereka, RKUHP ini telah taat asas dan dinilai mampu menjadi instrumen yang baik di mata hukum. Selain itu, RKUHP yang telah diusulkan dinilai juga lebih dekat dengan junjungan filosofis Pancasila dan UUD 10945 serta norma masyarakat.