Bersatu Menangkal Radikalisme di Tempat Ibadah
Oleh : Putri Anjarwati )*
Masjid sejatinya merupakan tempat bersujud, menunaikan shalat berjamaah dan kegiatan ibadah lainnya yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hanya saja bangunan yang suci tersebut kerap disalahgunakan oleh kelompok – kelompok dengan paham tertentu. Awal Juni 2018 lalu, Alissa Wahid melontarkan sebuah penelitian yang menggegerkan masyarakat, terlebih di kalangan umat Islam. Dimana survei tersebut menunjukkan bahwa 40 masjid di Jakarta telah terpapar paham radikalisme.
Yang paling utama sebenarnya bukan masjidnya, tapi takmir masjidnya. Apalagi ketika orang tersebut cenderung menerima kelompok tertentu untuk berdakwah dan menyebarkan nilai – nilai yang bersifat kebencian terhadap kelompok lain.
Fenomena masjid yang terpapar paham radikalisme juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute. Direktur Riset Setara Institute Halili menyatakan, paham radikalis di Indonesia hingga ke tempat Ibadah sebenarnya terjadi sebagai warisan dari pergantian rezim di masa reformasi. Pasca reformasi ada ketidakjelasan antara batasan kebebasan dengan proteksi arena – arena publik dari infiltrasi ideologi.
Pihaknya mencontohkan praktik radikalisme dengan penyebaran doktrin takfiri. Mereka yang meyakini doktrin ini dapat dengan mudahnya menyebut orang lain yang bersebrangan dengan pandangannya sebagai kafir. Sifatnya yang ekslusif membuat penganutnya cenderung menutup diri dari perbedaan.
Hal inilah yang kemudian menghancurkan sikap toleransi dalam masyarakat Indonesia yang tadinya memandang perbedaan sebagai sesuatu yang wajar dan biasa. Halili juga meyakini bahwa munculnya intoleransi dalam masyarakat inilah yang menjadi pemicu berkembangnya terorisme dan radikalisme di Indonesia.
Dalam praktiknya mereka yang menganut paham radikalisme ini cenderung menggunakan kekerasan. Di Indonesia aksi kekerasan ini dapat terlihat dalam beragam aksi pengeboman dan penyerangan terhadap simbol – simbol negara (salah satunya pihak kepolisian). Lambang – lambang kapitalisme seperti tempat hiburan dan hotel juga disebut sebagai salah satu sasaran dari aksi kekerasan yang kerap dilakukan karena mereka memandang hal – hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip – prinsip agama yang diyakininya.
Jika dilihat dari pemahaman beragamanya, kaum ini menganggap bahwa tafsir agama yang benar adalah tafsir kelompoknya sendiri. Salah satu contoh yang mendasar misalnya terkait pemahaman akan konsep jihad. Mereka menolak pandangan kebanyakan ulama yang mengartikan Jihad sebagai upaya optimal dan sungguh – sungguh dalam berbagai aspek kehidupan. Tafsir jihad bagi mereka adalah perang ofensif. Hal ini menjadi satu – satunya cara yang benar bagi mereka untuk menegakkan negara khilafah yang diyakininya.
Yang menjadi ironi adalah, ketika cara peperangan tidak memungkinkan untuk dilakukan maka yang terjadi adalah tindakan teror. Akso teror ini menjadi cara yang mereka gunakan untuk menunjukkan pada dunia bahwa kaum radikalisme masih ada dan tidak pernah mati. Bahayannya, mereka ini bekerja dalam sel – sel bawah tanah yang kuat sehingga ketika ada satu tokoh yang meninggal maka tokoh lain akan menggantikan.
Menurut Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Hari Purwanto, isu tersebut menjadi landasan bagi BIN untuk menuntaskan berbagai ancaman teror. Pihaknya menyampaikan bahwa BIN masih terus melakukan pemantauan karena menyadari bahwa ancaman radikalisme belum usai. Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak dinilai perlu untuk menjaga keamanan ke depannya.
Ihwal indikasi masjid yang terpapar radikalisme, hal ini juga terlah menjadi catatan bagi BIN. Pemantauan berkesinambungan dilakukan agar radikalisme tak meluas dan melebar. Sudah seyoganya masjid dijaga secara bersama – sama agar dapat menjadi tempat Ibadah yang normal dan terhindar dari ajaran – ajaran yang mengarah pada gerakan radikal.
Wawan juga menegaskan dalam kasus ini bukan masjidnya yang salah, namun lebih kepada oknum yang memanfaatkan masjid untuk kegiatan yang mengarah pada radikalisme itu sendiri. Kegiatan radikal dalam hal ini diartikannya sebagai sikap yang menyinggung SARA ataupun kegiatan yang kontraproduktif terhadap pemerintah.
Selama ini BIN telah melakukan upaya antisipasi dini melalui pemantauan. Tujuannya agar gerakan – gerakan yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan negara dapat segera dinetralkan. Dengan demikian diharapkan penanganan paham radikalisme di berbagai daerah di Indonesia dilakukan tanpa menggunakan intimidasi atau bahkan tindakan represif.
Langkah penetralan dilakukan BIN sebagai upaya pencegahan agar penanganan radikalisme dapat tepat sasaran. Dengan langkah preventif diharapkan nantinya aktor – aktor utama ataupun pihak – pihak yang selama ini menyampaikan pesan yang keliru kepada masyarakat dapat kembali ke koridornya. Untuk itu, wawan pun mengharapkan masyarakat dapat memahami bahwa secara prinsip tidak ada upaya pencederaan apalagi kriminalisasi dalam penanganan radikalisme di Indonesia.
BIN juga menyampaikan adanya donasi dari sejumlah negara untuk pembangunan masjid di Indonesia. Donasi ini disadarinya berpotensi menimbulkan masalah tersendiri dalam penanganan radikalisme yang pihaknya lakukan. Terlebih ketika donasi yang diberikan juga dilengkapi dengan tokoh – tokoh dari negara donatur untuk mengajar pendidikan agama di masjid tersebut.
Untuk melenyapkan radikalisme di Masjid, tentu dibutuhkan sinergitas antar kementrian dan lembaga. Hal ini dikarenakan ada beberapa faktor yang memicu kemunculan radikalisme di Indonesia, seperti pemahaman agama, ketidakadilan hingga kemiskinan. Pemahaman agama yang dangkal dan keliru merupakan faktor utama merebaknya radikalisme hingga terorisme di Indonesia.
Penanganan radikalisme di Indonesia tentu tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah. Masyarakat juga diminta untuk menghindari mereka yang secara terang – terangan menentang pancasila dan meyakini ideologi yang baru yang tidak sesuai dengan ideologi Bangsa Indonesia. Terlebih lagi jika sampai ada golongan tertentu yang mengajak masyarakat untuk berperilaku / bersikap intoleran terhadap sesama.
)* Penulis adalah pegiat media sosial aktif dalam kajian radikalisme