Bersinergi Melawan Penyebaran Ideologi Terorisme Pasca ISIS
Meski ISIS telah resmi dibubarkan, nyatanya keberadaan ideologi terorisme dan radikalisme masih saja akan menjadi ancaman bagi setiap umat manusia. Apalagi umat Islam, mereka masih berpotensi terpapar ideologi terorisme yang disebarkan oleh oknum-oknum mantan anggota ISIS. Memang, organisasinya telah hancur, tapi pemikiran itu telah mengacar sehingga tetap saja akan berbahaya apabila membiarkan diri kita terlena dengan kehadiran ideologi tersebut.
Apalagi, kemajuan teknologi melalui media internet membuat program penyebaran paham terorisme makin mudah dan makin sulit dilacak. Pola radikalisasi menjadi kian modern dan menyebar tanpa banyak tatap muka. Tak jarang juga, ia juga melibatkan oknum-oknum yang sebetulnya masih “abu-abu” keterikatannya dengan suatu organisasi teror dalam menanamkan ideologi terorisme. Akibatnya, bisa saja kalau ini tetap berlanjut maka akan ada lagi penduduk Indonesia yang rela berbuat kekerasan dengan mengatasnamakan kepercayaan dan bahkan ada juga yang mau melakukan bunuh diri dengan bom di tempat-tempat umum.
Untuk melawan penyebaran ideologi terorisme di negeri ini, hal yang harus dilakukan ialah tidak memberikan kesempatan terhadap munculnya tindakan radikal. Keinginan itu akan tercapai jika faktor-faktor yang menjadi pemicu terorisme berhasil diminimalkan, seperti ketidakpuasan publik terhadap negara. Baik itu mencakup persoalan ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, ataupun politik, bisa juga kepentingan elite yang berujung pada pemanfaatan untuk kepentingan penyebaran ideologi terorisme.
Kita sadari, kondisi Indonesia saat ini sangat jauh dari terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Ini terlihat dari maraknya kasus korupsi oleh elite politik dan logika hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Di sisi lain, ekonomi Indonesia juga masih sangat jauh dari kondisi sejahtera. Tentu saja, kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh penyebar ideologi terorisme guna menancapkan ideologinya kepada publik secara mengakar, atau bisa juga memicu salah satu warga negara justru menjadi inisiator tindakan terorisme mengatasnamakan rakyat untuk menentang negara. Oleh sebab itu, pemerintah harus saling bahu-membahu dengan rakyat dalam upaya mencegah adanya tindakan terorisme yang dilakukan oleh warga negara Indonesia (WNI).
Selain upaya tersebut, penegakan pilar-pilar civil society di lingkungan masyarakat juga perlu diupayakan untuk meredam penyebaran ideologi terorisme. Dalam hal ini, kita bisa menanamkan serta menerapkan prinsip sikap waspada radikalisme dengan senantiasa mengedepankan sikap cinta damai dan toleransi (tasamuh). Sebab, Hrair Dekmejian (1980) pernah menjelaskan bahwa gerakan teroris memiliki tiga sifat: merata (pervasiveness), memiliki banyak pusat (polycentrism), dan berjuang terus-menerus (persistence). Karenanya, konsistensi, sinergitas, dan pelaksanaan secara menyeluruh di seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan dalam memerangi ideologi terorisme yang tersebar di banyak wilayah.
Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pertama, membentengi keluarga dari bahaya ideologi terorisme. Pemahaman agama di keluarga harus makin ditingkatkan agar tidak mudah dipengaruhi kelompok teroris. Misalnya, pemahaman tentang jihad dan hijrah harus benar. Sehingga tidak mudah dimanipulasi pihak lain. Bahkan, dalam Islam yang benar, mengurus keluarga, bekerja, mendidik anak pun termasuk kategori jihad.
Kedua, mendorong peran masyarakat untuk saling mengawasi komunitas di sekitarnya. Mereka ibarat CCTV yang beroperasi selama 24 jam yang berfungsi mengontrol komunitas/tetangga di sekitarnya. Ini sebagai bentuk strategi membangun sistem deteksi dini (cegah-tangkal). Tentunya, jaringan teroris tidak akan bisa beraksi atau membentuk kelompok di daerah tersebut apabila ada kesadaran masyarakat untuk melakukan pendekatan dan mengingatkan tetangganya apabila terdapat gerakan yang dicurigai adalah bentuk terorisme. Selain itu, para ketua RT dan RW sebagai ujung tombak institusi pemerintah di tingkat komunitas harus lebih memperhatikan warga yang tinggal di lingkungan sekitar. Jangan sampai ada warganya yang akhirnya terpengaruh ideologi terorisme.
Ketiga, aparat keamanan harus makin peka atas potensi gangguan keamanan yang dilakukan kelompok menyimpang. Badan intelijen pun harus makin cerdas mengendus situasi. Hal ini karena zaman yang kian canggih telah membuat pelaku terorisme melakukan regenerasi ideologi terorisme secara canggih pula. Inilah yang kemudian membuat banyak orang tertipu dan tercuci otaknya sehingga rela melaksanakan tindakan terorisme.
Untuk itu, hal yang tidak kalah pentingnya untuk diwujudkan adalah aparat keamanan harus memperlakukan secara baik mereka yang direkrut kelompok menyimpang sebagai korban. Karena yang perlu kita tangkap dan hancurkan adalah aktor intelektualnya. Mereka yang menjadi korban bisa jadi telah dicuci otaknya sehingga tidak sadar mereka rela melakukan tindakan-tindakan terorisme yang menyimpang.
Dengan memasifkan upaya-upaya tersebut, serta didukung dengan sinergi setiap elemen masyarakat, kita bisa melaksanakan perang semesta melawan terorisme. Dengan cara begitulah, Indonesia akan benar-benar aman dari bahaya ideologi terorisme. Wallahu a’lam.
Sumber : jalan damai