Bersinergi Tolak Politik Uang Demi Pilkada yang Berintegritas
Oleh: Haikal Fathan Akbar)*
Melawan politik uang dalam Pilkada bukanlah sekadar wacana, melainkan langkah nyata yang harus diambil demi menjaga integritas demokrasi kita, khususnya menjelang Pilkada 2024. Politik uang bukan hanya tindakan melanggar aturan, tetapi juga merupakan bentuk kejahatan yang merusak sendi-sendi demokrasi.
Jika kita ingin Pilkada 2024 berlangsung bersih dan adil, sudah saatnya masyarakat dan semua pihak bersatu melawan praktik ini. Dengan kesadaran dan keberanian, kita bisa menolak godaan politik uang dan memastikan pemimpin yang terpilih adalah yang terbaik, bukan yang terbeli.
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kalimantan Selatan, Aries Mardiono, menegaskan bahwa politik uang bukan hanya sekadar pelanggaran, tetapi juga masuk kategori kejahatan dalam Pilkada yang harus diberantas tanpa kompromi.
Di tengah suasana politik yang semakin memanas menjelang Pilkada 2024, Aries menyerukan kepada semua pihak untuk menjaga integritas dan menghindari segala bentuk transaksi yang mencemari demokrasi.
Menurutnya, politik uang tidak hanya merusak proses pemilihan, tetapi juga mempengaruhi kualitas kepemimpinan yang dihasilkan. Dengan adanya transaksi uang dalam Pilkada, keputusan politik tidak lagi berdasarkan kapabilitas dan integritas calon, melainkan atas dasar uang yang diberikan.
Hal ini berpotensi besar mengarah pada pemerintahan yang korup, karena pemimpin yang terpilih melalui politik uang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan daripada kepentingan rakyat.
Dalam penjelasannya, Aries mengingatkan bahwa praktik politik uang telah diatur secara tegas dalam Pasal 187A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Setiap orang yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara untuk memengaruhi pilihan politik, akan dikenai pidana penjara minimal 36 bulan hingga maksimal 72 bulan, serta denda antara Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar. Hal ini berlaku tidak hanya bagi pemberi, tetapi juga bagi penerima politik uang.
Sanksi yang berat ini menunjukkan betapa seriusnya pemerintah dalam menangani masalah politik uang. Namun, sayangnya, praktik ini masih saja terus terjadi, terutama pada masa kampanye hingga menjelang hari pemungutan suara. Di titik inilah, peran pengawasan menjadi sangat krusial.
Aries juga mengakui bahwa masa kampanye adalah saat paling rawan terjadinya politik uang. Pasangan calon dan tim sukses sering kali memanfaatkan momen ini untuk mendekati masyarakat dengan iming-iming uang, terutama di wilayah-wilayah yang dianggap sebagai basis suara potensial.
Kondisi ini semakin memperparah ketidakadilan dalam Pilkada, karena calon yang memiliki sumber daya lebih besar cenderung lebih mendominasi melalui politik transaksional.
Bawaslu, sebagai garda terdepan dalam pengawasan Pilkada, terus berupaya untuk mencegah dan menindak setiap pelanggaran yang terjadi. Meski demikian, pengawasan dari lembaga ini memiliki keterbatasan, terutama dalam hal jumlah personel dan luasnya wilayah pengawasan.
Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam melakukan pengawasan sangatlah penting. Tanpa keterlibatan aktif dari masyarakat, upaya pemberantasan politik uang tidak akan berjalan efektif.
Contoh nyata dari komitmen memberantas politik uang bisa dilihat dari upaya Bawaslu Kota Batu, Jawa Timur. Mereka terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat setempat tentang bahaya dan dampak negatif dari politik uang. Supriyanto, Ketua Bawaslu Kota Batu, menyebut bahwa salah satu waktu paling rawan untuk terjadinya politik uang adalah masa tenang dan H-1 sebelum pemungutan suara.
Pada saat-saat tersebut, biasanya para pelaku politik uang bergerak secara sembunyi-sembunyi, bahkan memilih waktu tengah malam untuk mendistribusikan uang kepada masyarakat. Strategi ini digunakan untuk menghindari pengawasan petugas yang semakin ketat.
Namun, Bawaslu tidak tinggal diam, mereka bersama tim Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) seringkali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pelaku politik uang.
Kesadaran masyarakat menjadi kunci dalam memberantas politik uang. Supriyanto menegaskan bahwa Bawaslu sangat membutuhkan dukungan dari masyarakat dalam hal pengawasan. Masyarakat yang mengetahui atau melihat adanya praktik politik uang di lingkungan mereka diharapkan segera melapor. Dengan begitu, Bawaslu dapat segera menindak pelaku politik uang dan mencegah terjadinya kecurangan lebih lanjut.
Tidak hanya Bawaslu, kepolisian juga memiliki peran penting dalam memastikan Pilkada 2024 bebas dari politik uang. Kapolda Sulawesi Selatan, Irjen Pol Yudhiawan, saat memberikan sambutan di Makassar, mengingatkan masyarakat Sulsel untuk menjaga kerukunan selama Pilkada. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya menghindari politik uang, yang menurutnya hanya akan merendahkan harga diri masyarakat.
Politik uang tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi juga merusak moral masyarakat. Ketika seseorang menerima uang untuk memilih calon tertentu, mereka pada dasarnya menjual suara mereka, yang merupakan hak paling mendasar dalam sebuah demokrasi.
Suara yang seharusnya digunakan untuk memilih pemimpin yang terbaik, malah dijadikan alat transaksi. Hal ini, tentu saja, akan berdampak buruk bagi masa depan daerah dan negara kita.
Pilkada yang bersih dan adil hanya bisa terwujud jika semua elemen masyarakat, termasuk pemilih, calon, dan penyelenggara pemilu, memiliki komitmen yang sama. Setiap individu harus memiliki kesadaran bahwa politik uang adalah musuh bersama yang harus diperangi.
Mari kita jadikan Pilkada 2024 sebagai momentum untuk menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia masih sehat dan berjalan sesuai prinsip-prinsip yang benar.
)* Penulis adalah kontributor Vimedia Pratama Institute