Bijak Menyikapi Isu Pelemahan Rupiah
Oleh : Ade Istiqamah )*
Akhir-akhir ini banyak isu yang tersebar di masyarakat terkait kegagalan Pemerintah dalam mengatasi pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS), menurut data yang diungkapkan oleh BI dari Januari hingga pada akhir Juni 2018 nilai tukar rupiah melemah sebesar 5,72 persen menjadi Rp 14.390 per dollar AS. Namun perlu diketahui juga bahwa hal tersebut terjadi akibat adanya kebijakan bank sentral internasional yang berdampak ke seluruh negara berkembang sehingga memicu pelemahan mata uang secara global tidak hanya di Indonesia.
Kita perlu berkaca kembali pada masa Orde Baru 1998 dimana pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi akibat pelemahan rupiah terhadap dollar, dimana dari angka 2.500 per dollar AS menjadi 16.800 per dollar AS, naik 600 persen dari nilai awal. Sementara itu, upah buruh yang diberikan tidak naik mengikuti tren tersebut, dimana dari 172 ribu perbulan hanya naik menjadi 192 ribu per bulan. Hal ini lah yang memicu adanya krisis ekonomi pada masanya, masyarakat mulai tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan berujung pada aksi unjuk rasa besar-besaran dari masyarakat untuk menurunkan Pemerintahan pada masa tersebut.
Lalu bagaimana dengan pelemahan rupiah pada saat pemerintahan saat ini? Menurut Pakar Manajemen Perubahan, Rhenald Kasali mengatakan rupiah memang benar mengalami pelemahan namun tidak besar, bila dibandingkan kenaikan nilai tukar rupiah hanya naik sebesar 18 persen sejak 2014 hingga 2018. Sementara itu kenaikan upah buruh naik secara signifikan dari 2,4 juta menjadi 3,65 juta atau naik sebesar 49 persen sejak 2014. Rhenald berpendapat bahwa besarnya permasalahan pelemahan rupiah pada masa Pemerintahan saat ini di mata masyarakat karena jumlah nominal rupiah yang besar dan kondisi kelompok oposisi politik Pemerintah yang menggunakan isu pelemahan rupiah sebagai bahan untuk menjatuhkan posisi Pemerintahan saat ini.
Selain itu, kondisi perkembangan global juga ikut mempengaruhi pelemahan mata uang rupiah. Kita tidak boleh lupa bahwa terdapat isu perkembangan global yang dapat mempengaruhi kondisi perekonomian seluruh dunia, hanya dari salah satu kebijakan kepentingan negara maju akan menentukan bagaimana arah kebijakan diplomatik yang mempengaruhi kondisi Nasional negara berkembang. Tidak terkecuali Indonesia. Perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok untuk saling membatasi ekspor dan impor kedua negara dengan meningkatkan bea masuk barang dari luar negeri menjadi sebuah perhatian pasar dunia dan memaksa pasar untuk melakukan koreksi kebijakan dan beberapa mata uang terdepresi. Menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan Argentina merupakan negara yang mengalami depresi mata uang terdalam yaitu sebesar 32 persen, Turki 18 persen, Brasil 14 persen, Rusia 9 persen, India 7,7 persen, Flipina 6,7 persen, dan Indonesia sebesar 5,7 persen. Hal tersebut menunjukan bahwa rupiah masih terkendali dan dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia.
“Pelemahan rupiah yang sekarang ini masih manageable, secara tahun berjalan juga manageable sehingga tidak perlu panik” Ujar Perry
Tidak hanya diam dan menunggu kondisi perekomian global kembali normal, Pemerintah Indonesia sedang berupaya untuk tetap menjaga agar nilai rupiah tidak menyentuh angka yang berbahaya. Bank Sentral terus melakukan stabilisasi dengan menerapkan intervensi ganda di pasar Valas dan Surat Berharga Negara (SBN) untuk membendung keluarnya modal asing yang mendepresiasi kurs rupiah. Bank Indonesia pun bukan hanya mengandalkan dampak dari pengetatan suku bungu acuan BI 7 Day Reservase Repo Rate yang baru saja dinaikkan 50 basis poin menjadi lima persen pada 29 Juni 2018 tapi juga meningkatkan intervensi ganda di pasar valas dan SBN, seperti mengoptimalkan frekuensi lelang instrumen term repo guna memastikan ketersedian likuiditas perbankan. Kenaikan suku bunga acuan BI masih dinilai ampuh untuk menarik kembali modal asing, termasuk ke pasar SBN dan membuiat imbal hasil instrumen keuangan domestik menjadi kompetitif.
Dampak dari nilai tukar rupiah yang melemah bagi masyarakat diantaranya adalah ongkos untuk berpergian ke luar negeri atau belanja online akan lebih mahal. Tiket pesawat, tarif hotel, dan harga-harga barang impor akan terus naik. Namun bagi eksportir Indonesia hal tersebut malah akan menguntungkan karena produk-produk ekspor dari Indonesia akan menjadi lebih kompetitf dan memiliki daya saing tinggi karena barang-barang di Indonesia akan semakin murah. Hal ini berpengaruh pada indeks real effective exchange rate (REER) yaitu analisis ekonomi terkait pergerakan rupiah yang menyebutkan bahwa Indonesi akan leih kompetitf dalam perdagangan dunia baru bisa didapatkan apabila rupiah tidak cumak menurun terhadap dolar, tapi juga menurun secara indeks REER. Dalam hal ini, data dari global makro ekonomi databnase CEIC menunjukan ada penurunan di dalam rupiah REER indeks pada periode April 2017 hingga Maret 2018. Hal tersebut menyimpulkan bahwa pelemahan rupiah akan baik untuk posisi perdagangan dan ekonomi Indonesia atau dapat dikatakan bahhwa melemahnya rupiah adalah satu hal yang postif untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia karena dapat menekan pertumbuhan eknomi yang macet pada level 5 persen. Namun Indonesia juga perlu berhati-hati dengan dampak-dampak negatif lainya bila rupiah terus merosot.
Dibalik kondisi ekonomi Indonesia yang mendapatkan pemberitaan negatif secara terus-menerus akhir-akhir ini, kita sebagai masyarakat perlu untuk memahami terlebih dahulu akar permasalahan dan dampak yang dihasilkan dari kondisi pelemahan rupiah tersebut. Dengan kita menelan secara mentah-mentah pemberitaan yang ada di media maka kita akan mengikuti arus oposisi Pemerintah yang berusaha menggiring opini masyarakat untuk kepentingan satu kelompok saja. Maka dari itu, jadilah masyarakat yang cerdas dengan membaca dan memahami masalah bukan hanya mengikuti arus tren perkembangan yang merugikan diri sendiri dan negara.
)* Penulis adalah Mahasiwa Universitas Islam Negeri Sutan Syarif Kasim