Polemik Politik

Pemuda Kunci Kesuksesan Tekan Angka Golput pada Pemilu 2024

Oleh : Dwi Cahya Alfarizi)*

Pemilihan Umum (Pemilu) selalu menghadirkan beragam cerita, segala dinamika terkait dengan pemilu selalu menarik untuk dibahas, apalagi 60 persen pemilih rupanya berasal dari kalangan pemilih muda, di mana hal ini tentu saja membuat partai politik berlomba-lomba untuk dapat merebut suara dari pangsa pasar anak muda. Meski jumlah pemilih muda lumayan banyak, kelompok ini juga rawan untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu alias golput.

Oleh karena itu beragam upaya harus dilakukan untuk menekan kemungkinan anak muda menjadi golput, seperti pemberian edukasi tentang literasi politik karena banyak di antara generasi muda yang tidak paham akan esensi politik. Hal ini tentu bisa menjadi masalah, karena dengan tingginya angka golput, hal tersebut justru bisa menjadikan calon legislatif yang tidak berkompeten bisa terpilih dan melenggang ke kursi legislatif.

            Ireng Maulana selaku Pengamat Politik Kalimantan Barat (Kalbar) mengatakan bahwa suara anak muda cenderung tdak mau tahun tentang politik, bahkan tidak mau ikut dalam pesta demokrasi. Hal inilah yang membuatnya berinisiatif untuk mengajak anak muda khususnya generasi milenial untuk aktif dalam pemilu.

            Ireng menilai, diakui bersama anak muda saat ini selain berpikir kritis juga harus bergerak untuk menjadi penggerak teman-teman yang bersikap masa bodoh terhadap dunia perpolitikan di Indonesia. Ia berujar bahwa kaum muda merupakan ujung tombak untuk bangsa ini lebih baik maju dan lebih mengayomi di mana eranya anak muda untuk lebih peduli dan tertarik di bidang politik negeri ini.

            Generasi muda memiliki peran penting terhadap persoalan bangsa. Apalagi saat memasuki tahun politik, mahasiswa tentu saja menjadi target pasar suara oleh sejumlah partai politik, apalagi jumlah mahasiswa di Indonesia mencapai sekitar 8 juta yang merupakan jumlah yang signifikan secara kuantitatif.

            Pemilih muda dalam konteks pemilu tentu saja mereka berada dalam pusaran antara antusiasme dan apatisme politik. Pada satu sisi sangat bersemangat dan ingin mengetahui seputar pemilu, khususnya melalui media sosial. Namun, belum tentu antusiasme tersebut sejalan dengan realitas perilaku politiknya, bahkan tida sedikit kalangan pemilih pemula, termasuk mahasiswa yang lebih memilih untuk tidak menyalurkan hak pilihnya alias golput.

            Untuk mencegah terjadinya politisasi terhadap pemilih muda, maraknya politik uang, minimnya pemahaman terkait dengan teknis penandaan atau pencoblosan dan lain sebagainya, KPU sebagai lembaga penyelenggara harus lebih intens melakukan literasi politik dengan cara melakukan pendidikan pemilih kepada pemilih muda agar menjadi pemilih yang lebih mengedepankan rasionalitas dalam menentukan pilihannya. Dalam pendidikan pemilih tersebut juga harus diberikan pemahaman dan keterampilan teknis pencoblosan yang sah agar kehadiran pemilih muda ke TPS tidak sia-sia.

            Di sisi lain, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga perlu mengambil peran untuk menyelamatkan nasib jutaan pemilih muda. Untuk itu Bawaslu juga perlu mendorong dan memastikan agar KPU dan Kemendagri melakukan langkah-langkah pasti, baik secara aturan maupun dalam pelaksanaannya. 

            Basis pemilih muda dijadikan sebagai basis gerakan sosialisasi dan pendidikan pemilih karena yang cukup signifian. Dalam konteks pemilu, mereka yang disebut basis pemilih muda adalah WNI yang telah memiliki hak pilih dan usianya tidak melebihi 30 tahun. Dengan demikian, kisaran usia pemilih muda adalah 22-30 tahun.

            Pemilu sendiri merupakan salah satu pilar demokrasi sebagai ajang perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan dan lembaga perwakilan politik yang memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat. Oleh karena itu, proses pemilu harus berjalan dengan jujur, adil, bebas dan rahasia serta demokratis. Apalagi masyarakat Indonesia sudah bersepaat bahwa pemilu merupakan bagian dari proses penguatan kehidupan tata pemerintahan yang efektif dan efisien. 

            Kelompok pemuda juga harus waspada dengan bahaya hoax atau berita bohong. Jangan mudah terprovokasi apalagi turut serta menyebarluaskan hoax. Anak muda perlu kritis terhadap informasi yang belum tentu kebenarannya sebelum menyebarkan informasi tersebut.

            Salah satu penyebab munculnya golput adalah sikap ketidakpedulian serta ketidakpercayaan masyarakat terhadap politik. Padahal golput tidak akan menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah. Justru dengan menggunakan hak pilih saat pemilu, maka masyarakat bisa memilih pemimpin yang berintegritas dan antikorupsi, sehingga pemerintahan dapat dijalankan secara bersih, jujur dan adil.

            Negara yang menganut demokrasi artinya adalah negara yang melibatkan seluruh warganya dalam membuat dan mengambil keputusan baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Namun, tingginya golput menjadi indikator bahwa masyarakat tidak lagi merasa adanya semangat berdemokrasi, melainkan apatis terhadap orang yang dicalonkan.

            Kelompok Muda dengan semangat dan idealismenya perlu untuk membuat demokrasi semakin hidup. Anak muda jangan sampai terjebak pada skeptisisme pemilu yang kelak hanya akan merugikan bangsa Indonesia. Anak muda dengan literasi digital yang baik tentu harus bisa mengenali para peserta pemilu dan memilih calon pemimpin yang berintegritas.

)* Penulis adalah kontributor Persada Institute

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih