Buruh Tak Perlu Mogok Massal, Serikat Buruh Sepakati Omnibus Law
Oleh : Dodik Prasetyo )*
Rencana pegawai untuk melakukan mogok massal akan dibatalkan karena serikat buruh sudah menyetujui omnibus law. KSPI dan belasan persatuan buruh lain sepakat dengan draft omnibus law karena memudahkan investasi masuk ke Indonesia. Sehingga dunia ekonomi makin semarak dan berakibat positif terhadap iklim ketenagakerjaan.
Pada awalnya, para buruh sepakat akan mogok kerja tanggal 6-8 oktober 2020. Mereka melakukannya untuk menentang omnibus law. Namun kemudian ada revisi sehingga pemogokan dibatalkan. Karena serikat buruh menyetujui RUU Cipta Kerja, yang pada klaster ketengakerjaan menguntungkan para pegawai. Kesalahpahaman telah terhapuskan.
Sebanyak 16 serikat buruh telah beraudensi dengan anggota DPR untuk membahas omnibus law RUU Cipta Kerja, terutama pada klaster ketenagakerjaan. Dalam pertemuan yang diadakan di sebuah hotel berbintang itu, dijelaskan tentang draft omnibus law yang belum final, sehingga masih bisa diubah. DPR tentu tak akan membuat RUU yang merugikan karyawan.
Said Iqbal, perwakilan dari Konfederasi Serkat Pekerja Indonesia menyatakan rasa terima kasih kepada senegap pewakilan DPR. Karena mereka mau mendengarkan aspirasi dari para buruh. Ketika mereka bisa duduk dalam 1 forum dan membahas klaster ketenagakerjaan di omnibus RUU Cipta Kerja, akan terhindar dari kesalahpahaman akibat perbedaan interpretasi pasal.
Iqbal melanjutkan, ia sangat mendukung omnibus law RUU Cipta Kerja karena mendorong investasi masuk ke Indonesia. Dalam artian, akan banyak proyek penanaman modal di negeri ini dan otomatis butuh banyak karyawan. Para pekerja bisa berbondong-bondong melamar ke sana.
Jika serikat buruh sudah sepakat dengan omnibus law RUU Cipta Kerja, maka diharap tidak ada demo selanjutnya. Mogok kerja juga dibatalkan saja, karena menunjukkan ketidak kompakan antara serikat buruh dengan para pekerja. Padahal serikat buruh sudah setuju dengan omnibus law RUU Cipta Kerja, pekerja jangan mau terpengaruh oleh provokator.
Selain itu, pemogokan massal bisa merugikan banyak orang. Jika para pekerja di provider HP tidak mau bekerja selama 3 hari, maka akan bahaya karena bisa-bisa sinyalnya menghilang dari seluruh Indonesia. Ketiadaan sinyal bisa merugikan tak hanya bagi perusahaan, tapi juga keluarga mereka sendiri. Seharusnya para buruh memikirkan efek domino dari pemogokan tersebut.
Sebenarnya permasalahan mogok kerja sudah diatur dalam UU nomor 13 tahun 2003 pasal 137. Dalam pasal tersebut, buruh diperbolehkan mogok kerja. Namun yang jadi problem, pemogokan akan dilakukan saat pandemi covid-19. Sehingga ketika mereka mogok dan melakukan long march, khawatir menimbulkan klaster corona baru.
Walau para pemogok yang berdemo sudah pakai masker, namun tetap bergerombol di tempat umum. Ketiadaan jarak ini yang melanggar protokol kesehatan, sehingga acara wajib dibubarkan oleh aparat. Apalagi ketika mereka minum dari 1 botol yang sama, droplet bisa menularkan corona.Daripada menimbulkan bencana lebih lanjut, lebih baik hentikan demo dan mogok massal.
Seringkali para peserta pemogokan hanya ikut-ikutan dan tidak tahu mengapa harus berkumpul dan berhenti kerja selama 3 hari. Jika menolak, maka bisa diancam oleh oknum yang tak bertanggung jawab. Padahal mereka dibayar harian, sehingga selama mogok tidak mendapat penghasilan. Jika seperti ini, apa provokator mau bertanggung jawab?
Waspadalah terhadap penghasut di dalam pabrik karena ia memanfaatkan para buruh yang masih lugu. Sebenarnya para pekerja tidak tahu tenang omnibus law tapi diajak mogok dan berdemo menentangnya. Serikat pekerja seharusnya menciduk aksi provokator tersebut dan memberi edukasi tentang RUU Cipta Kerja.
Mogok massal para buruh akan dihentikan karena faktanya, serikat buruh sudah menyetujui omnibus law. Jangan ada pemogokan dan demo, karena bisa beresiko menimbulkan klaster corona baru. Waspadalah terhadap aksi provokator yang ngotot mengajak para pekerja mogok.
)* Penulis aktif dalam Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)