Car Free Day Bukan Untuk Kepentingan Politik
Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau Car Free Day yang mana bahasa umumnya dikenal dengan CFD, merupakan sebuah kegiatan kampanye untuk mengurangi tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di seluruh dunia yang disebabkan oleh kendaraaan bermotor. Bermula pada tanggal 25 November 1956, pertama kali Car Free Day dilaksanakan di Belanda setiap hari Minggu, kemudian Prancis pada tahun tahun 1995 yang melaksanakan pesta memperingati Green Transport Week di kota Bath sehingga semua masyarakat turun ke jalan untuk merayakan acara tersebut. Inilah perjalanan panjang sejarah kegiatan Car Free Day, yang pada akhirnya kegiatan ini diperingati setiap tanggal 22 September di seluruh dunia.
Sejarah CFD di Indonesia
Kegiatan Car Free Day pertama kali di Indonesia dilaksanakan sekitar tahun 2001 yang bertepatan di Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Penutupan jalan dilakukan setelah audiensi antara beberapa kelompok aktifis lingkungan hidup dengan pihak kepolisian, sehingga diputuskan oleh Irjen Pol Djoko Susilo selaku pimpinan Dirlantas Polda Metro Jaya kala itu untuk melakukan penutupan jalur Sudirman – Thamrin. Tidak berhenti sampai disana, meskipun pelaksanaan CFD tersebut masih bersifat informal atau dimaksudkan belum berlandasan yuridiksi, namun suksesi pelaksanaan CFD yang pertama kali dihelat ternyata diadopsi hingga berlanjut pada pelaksanaan hari bumi dan dilanjutkan tanggal 22 September 2002, dimana pada saat itu Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) dan para aktifis lingkungan hidup bersama masyarakat mengkampanyekan penghapusan penggunaan bensin bertimbel. Tak ayal dicetuskanlah kegiatan CFD yang pada awalnya hanya sebatas kampanye semata untuk mengingatkan para pemilik kendaraan bermotor pribadi agar lebih bijak dalam pemakaian kendaraan pribadinya. Setahun berikutnya, tepat pada tanggal 21 September 2003, pelaksanaan CFD mulai menyebar keseluruh penjuru dunia dan serempak dilaksanakan oleh 1500 kota di dunia termasuk Jakarta yang dihadiri oleh sektitar 112 juta manusia.
Pelanggaran di CFD Jakarta
Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, salah satu kegiatan yang menuai penolakan sekaligus menimbulkan ancaman publik adalah Aksi Kita Indonesia yang digelar pada hari Minggu 4 Desember 2016 oleh sebagian kelompok kepentingan, yang mengatasnamakan sosial budaya sebagai tameng pelaksanaanya.
Manajer Program dan Kampanye Walhi Jakarta, Zulpriadi mengatakan bahwa pihaknya telah mencatat beberapa pelanggaran serta mengkritik keras alih fungsi CFD sebagai panggung politik akibat pagelaran aksi 412 terdahulu. CFD yang semula digunakan sebagai sarana kegiatan lingkungan hidup, berolahraga, seni, dan budaya, malah justru tercederai dengan aktifitas politik sejumlah partai politik.
Berdasarkan catatan Walhi, terdapat lima pelanggaran aksi 412 yang kala itu tidak ramah lingkungan, seperti adanya panggung di area Bundaran Hotel Indonesia (HI), penggunaan mesin genset yang sejatinya membuat kawasan CFD berasap, ditemukan keberadaan atribut partai pendukung salah satu Cagub DKI Jakarta, aktifitas menginjak-injak taman dan ruang hijau sehingga mengakibatkan rusaknya lingkungan, serta menumpuknya volume sampah tanpa adanya tindaklanjut dari pihak penyeleggara.
Aturan Pelaksanaan CFD
Secara yuridis, aturan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan CFD tertuang pada Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang dilanjutkan dengan aturan pelaksana yakni Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 2016 tentang pelaksanaan HBKB. Berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang pelaksanaan HBKB, ketentuan tersebut pada dasarnya mengatur tentang batasan tema kegiatan sepanjang jalur CFD yang meliputi tema lingkungan hidup, olahraga, dan pagelaran seni budaya.
Namun demikan, keberadaan CFD tidak dibolehkan untuk dimanfaatkan sebagai sarana prasarana kepentingan partai politik dan SARA, serta orasi ajakan yang bersifat menghasut dan menghasilkan propaganda negatif, karena tak dapat dipungkiri bahwa melihat data statistik audiens CFD Jakarta yang terus meningkat acapkali dimanfaatkan oleh sebagian kelompok kepentingan sebagai upaya untuk menggalang kekuatan.
Fenomena pasang surutnya eksistensi CFD Jakarta dewasa ini, secara tidak langsung telah menunjukan penurunan terhadap statistik kualitas perhelatan CFD. Tak ayal seiring 15 tahun CFD berjalan, hingga saat ini masih banyak kelompok yang memanfaatkan situasi dan hal layak ramai CFD yang secara implisit bertujuan untuk politik kepentingan. Tak ayal Pemprov DKI Jakarta beserta lembaga terkait lainnya, dituntut keras untuk mulai berinovasi dan sinkronisasi dalam upaya pengawasan dan medeteksi kegiatan-kegiatan diluar aturan CFD, serta memahami dengan seksama Pergub Prov. DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2016 selaku subjek pelaksanaan HBKB. Tampaknya tak semua pihak mengerti esensi dari penciptaan CFD yang bertujuan untuk menyehatkan para penikmatnya bukan untuk berkampanye, berpolitik terlebih lagi bertindak anarki dengan memanfaatkan isu SARA yang rawan untuk ditunggangi oleh politik kepentingan.
Ardian Wiwaha