Cegah Eksploitasi Isu SARA Dalam Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019
Semarang, LSISI.ID – Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI) bekerja sama dengan Semarang TV telah menyelenggarakan dialog interaktif bertema “Mencegah Eksploitasi Isu SARA Dalam Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019”.
Hadir dalam dialog tersebut, Mantan Direktur Shabara Mabes Polri, Brigjen Purn. Pol Soehardi SA, Pengamat Hukum dan Sosial, Hendro, SH., M.Hum, dan Pengamat Komunikasi STIKOM Semarang, Drs. Gunawan Wityaksono, M.Si.
“Pilkada serentak 2018 ini harus disikapi dengan serius, terutama bagaimana agar dapat berlangsung aman, nyaman, dan lancar. Jangan sampai ada riak-riak kecil seperti penggorengan isu-isu SARA dengan penyebaran berita hoax. Bila semua pihak mampu menahan diri dan mewujudkan kampanye bersih, maka akan memberi makna besar bagi proses demokrasi selanjutnya, yaitu Pilpres 2019”, ungkap Poernomo Anwari, Produser Eksekutif Semarang TV sekaligus Moderator dalam dialog tersebut.
Pakar komunikasi Gunawan Wityaksana menyarankan kalangan elit politik untuk tidak malu meniru iklan sepeda motor dalam berkompetisi satu sama lain di percaturan politik.
“Coba sekarang, dulu saya ingat iklan Vespa berbunyi ‘Lebih Baik Naik Vespa’, kemudian sekarang Yamaha slogannya ‘Semakin di Depan’, dan lain sebagainya. Namun, tidak pernah ada slogan dari produsen sepeda motor yang saling menjatuhkan sama lain, misalnya produk A lebih baik dari produk B.
Gunawan mengatakan kecenderungan sekarang ini para elit justru mencoba saling menjatuhkan lawan politiknya dengan cara-cara yang tidak sehat, termasuk menggunakan isu SARA yang bisa memecah belah.
“Maraknya ‘hoax’ sekarang ini juga memprihatinkan, terutama melalui media sosial yang digunakan sebagai sarana untuk menebar ujaran kebencian. Tanpa pikir panjang kemudian di-‘share’,” katanya.
Brigjen Pol (Purn) Soehardi SA membenarkan, para elit sekarang ini sebegitu mudahnya berbicara di media tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat.
“Ada orang yang berpengaruh, kemudian berbicara menjelekkan orang lain. Kalau para tokoh berbicara seperti itu akan menjadi sangat gaduh bangsa ini. Mereka tidak menampilkan kecerdasan,” ungkapnya.
Kalau mereka negarawan dan tokoh bangsa, kata dia, mestinya menjaga apa yang diucapkan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat dilandasi dengan kecerdasan kebangsaan dan berdemokrasi.
“Jika sifatnya mencari kekuasaan dengan cara memecah bangsa, berarti mereka tidak cerdas kebangsaan. Kemudian, cerdas berdemokrasi. Bijak dalam berbicara, berpolitik, dan berdemokrasi,” katanya.
Soehardi mengingatkan mereka yang duduk sebagai elite untuk tidak mempermainkan emosi rakyatnya, sebab apa yang diucapkannya sangat berdampak besar terhadap masyarakat terutama di akar bawah.
Sementara itu, Hendro mengatakan elit yang suka memecah-belah membuktikan belum dewasa dalam berdemokrasi.
“Kedewasaan seorang tokoh, atau bahkan negarawan tidak cukup hanya dari pemikirannya, tetapi juga omongannya. Di atas, mereka ngomong seperti itu tidak apa-apa, tetapi di bawah bisa bahaya,” tegasnya.
RPD-Ant