Deklarasi KAMI di Surabaya Melanggar Protokol Kesehatan
Oleh : Zakaria )*
Di Surabaya terjadi kericuhan karena deklarasi KAMI dibubarkan. Mereka tak boleh marah kepada aparat, karena acaranya jelas melanggar protokol kesehatan. Karena diadakan di ruang tertutup dan dihadiri oleh terlalu banyak orang. Lagipula, deklarasi di masa pandemi covid-19 sangat tidak etis dan tidak berempati pada masa prihatin.
Para anggota KAMI emosi karena Polda Jatim membubarkan deklarasi KAMI di Surabaya. Mereka juga menuding massa yang menolak acara tersebut adalah pendemo bayaran. Padahal alasan deklarasi tersebut dbubarkan adalah tidak ada izin dari pemilik gedung. Sehingga melanggar peraturan, karena tiap acara resmi harus mengantongi izin sebelum diadakan.
Deklarasi KAMI yang membahas tentang neo komunisme sekaligus acara silaturahmi juga melanggar protokol kesehatan. Karena mereka nekat mengundang sampai 150 orang. Padahal di masa pandemi, untuk acara penting seperti akad nikah saja aturannya maksimal dihidiri 30 orang. Jika deklarasi mengumpulkan ratusan orang tentu langsung disemprit aparat.
Selain jumlah peserta, yang disentil dari acara tersebut adalah tempatnya. Deklarasi KAMI dilakukan di gedung tertutup. Jika 150 orang dikumpulkan di dalam 1 ruang aula, apakah bisa menjaga jarak minimal 1 meter? Apalagi jika peserta tidak disiplin dan melepas masker atau hanya memaka face shield. KAMI tak bisa menjamin bahwa acara sesuai protokol kesehatan.
Terlebih, deklarasi dalam ruang tertutup malah lebih berbahaya karena virus covid-19 menular via udara pengap. Misalnya pada aula gedung yang ber-AC. Jika akhirnya peserta ada yang tertular virus covid-19, apakah KAMI mau bertanggung jawab dan mengobatinya sampai sembuh? Bukannya menambah wawasan peserta, acara itu malah akan membuat klaster corona baru.
KAMI jangan marah dan paying victim jika deklarasi di Kota Pahlawan dibubarkan. Justru mereka harus berterima kasih kepada aparat, karena telah diingatkan. Jika aparat dimarahi, maka merekalah yang justru melanggar hukum. Karena nekat mengadakan acara ramai padahal masih masa pandemi. KAMI dianggap tidak tanggap pada keadaan masyarakat Indonesia.
Salah satu tokoh KAMI adalah purnawirawan. Seharusnya ia tetap menjaga kedisiplinan dan taat pada aturan. Apalagi dalam masa pandemi covid-19. Suatu acara yang dilakukan harus sesuai dengan protokol kesehatan. Jika pada 1 acara deklarasi saja sudah marah, bagaimana jika ada penolakan selanjutnya? Hal itu menunjukkan watak asli yang kurang bijaksana.
Jika memang ingin mengadakan deklarasi, sebaiknya cari tempat yang memberi izin, dan pilh ruang terbuka seperti lapangan. Juga harus ada tempat cuci tangan, pembagian hand sanitizer, dan semua wajib pakai masker. Peserta juga terbatas, agar bisa jaga jarak. Namun sayangnya masyarakat kurang bersimpati, sehingga tak mau memberi izin penggunaan tempat.
Ketika KAMI ngotot mengadakan deklarasi, maka sebaiknya lakukan dengan virtual. Bisa dengan aplikasi Zoom atau Google Meet. Malah hemat biaya bensin dan penginapan. Jangan hanya ber-mindset bahwa sebuah acara harus dilakukan langsung. Jika tidak memanfaatkan teknologi untuk meminimalisir resiko corona, bagaimana bisa mendapat simpati rakyat?
Para pendemo malah senang karena deklarasi KAMI dibubarkan, karena mereka juga sependapat bahwa acara itu tidak mematuhi protokol kesehatan. Masyarakat yang melakukan unjuk rasa adalah perwakilan dari rakyat yang jelas-jelas menolak hadirnya KAMI di Surabaya. Karena mereka selalu memprovokasi dan memanaskan keadaan, bukannya mendamaikan situasi pandemi.
Deklarasi KAMI di Surabaya yang dibubarkan oleh Polda Jatim adalah contoh bahwa mereka tidak berpikir panjang. Melainkan berambisi dan memenuhi nafsu politis, sehingga nekat mengadakan acara yang tak sesuai protokol kesehatan. Masyarakat makin kehilangan simpati karena KAMI main seruduk dan tidak mematuhi peraturan.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Bogor