Demo Buruh Sarat Kepentingan Politik
Oleh : Hardi Wijaya
Pelaksanaan demo buruh pada 14 Mei 2022 dianggap tidak relevan, karena isu yang akan disampaikan sudah terjawab. Oleh sebab itu, aksi demo tersebut sangat diyakini sarat kepentingan politis, utamanya untuk mengangkat popularitas elite buruh.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, ratusan ribu buruh akan berpartisipasi pada rangkaian aksi May Day pada 14 Mei 2022 di beberapa lokasi di Jakarta. Rangkaian aksi tersebut akan dilakukan di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi DKI Jakarta dan Jakarta International Stadium atau Istora Senayan.
Mereka menuntut agar pemerintah dapat menurunkan harga-harga bahan-bahan pokok serta menolak kenaikan Pertalite dan gas elpiji 3 kg. Aksi ini sudah terkesan ketinggalan zaman untuk menyuarakan kegelisahan para buruh, dan lagipula tidak semua buruh mau diajak untuk turun ke jalan.
Ketua MPR RI Jazilul Fawaid mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat untuk tidak melakukan aksi unjuk rasa yang menimbulkan kerusuhan. Menurutnya, menyampaikan aspirasi memang hak masyarakat yang diatur dalam konstitusi. Akan tetapi, aksi demonstrasi yang menimbulkan kerusuhan tersebut dinilai kurang tepat.
Menurutnya, aksi demo tidak sepenuhnya tepat, karena semua bisa didialogkan. Tidak perlu demo-demo, sebab aksi ini lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya. Apalagi saat ini pemerintah sedang melaksanakan program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Sehingga jangan sampai adanya aksi unjuk rasa malah menghambat agenda pemulihan ekonomi nasional. Para buruh seharusnya bisa memaksimalkan forum lain agar bisa memperjuangkan haknya. Aksi Demonstrasi di jalan hanya akan membuka adanya persoalan lain di luar penetapan upah.
Aksi demonstrasi juga berpotensi memperburuk iklim investasi, sama halnya dengan perdagangan bursa yang melemah, kegiatan investasi juga berpotensi terhambat. Investor yang awalnya mungkin ingin menanamkan modalnya di Indonesia, akan dibuat khawatir dengan adanya gelaran demonstrasi yang terjadi.
Selain itu, aktivitas demo juga berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian. Aktivitas perekonomian masyarakat ibukota juga jelas terganggu, seperti jaringan KRL Commuter Line yang terganggu di Stasiun Palmerah hingga berimbas pada Stasiun Tanah Abang jelas merugikan para pekerja dan berdampak pula pada perusahaan kereta listrik tersebut.
Belum lagi penutupan jalan yang merugikan berbagai kendaraan logistik atau kendaraan niaga lainnya. Jika hal tersebut terus berlanjut, bukan tidak mungkin perusahaan akan menanggung kerugian yang lebih besar.
Sementara itu, aksi demo juga tidak perlu menyampaikan tuntutan mengenai pemakzulan terhadap pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Hal ini tentu saja berpotensi mengalihkan isu yang disuarakan serta menjadi pertanda bahwa aksi demo sarat akan kepentingan politik.
Tentu saja jika ada yang salah pada seorang pemimpin, tuntutan pemberhentian jabatan bukanlah jalan yang bijak. Sehingga patut dipertanyakan pula apakah Partai Buruh benar-benar memperjuangkan aspirasi buruh, atau para tokoh buruh memanfaatkan momen untuk mendapatkan panggung politik?
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Patijaya menyarankan agar sejumlah elemen masyarakat yang hendak berdemonstrasi tidak perlu menyampaikan tuntutan mengenai pemakzulan terhadap pemerintahan yang sah. Jokowi juga sudah menjelaskan mengenai kesimpangsiuran beberapa isu seperti soal masa jabatan presiden 3 periode, dan sudah menjawab tegas dengan menolak wacana tersebut.
Pada aksi demonstrasi di akhir bulan Ramadan 1443 Hijriah lalu, sempat terbentang spanduk yang mendesak agar Jokowi mundur dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Selain itu, spanduk tersebut juga bertuliskan mosi tidak percaya terhadap DPR dan pemerintah Jokowi-Ma’ruf. Akhirnya, terjadilah bentrokan saat demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR, Senayan.
Aksi demo memang tidak dilarang, namun bukan berarti aksi ini bisa berjalan tanpa aturan, karena bagaimanapun aksi demo yang berujung pada kemudharatan lebih baik dihindari dan lebih memilih untuk menggunakan cara lain, serta tidak perlu memaksa para buruh yang sedang bekerja untuk ikut berdemo.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute