Demokrasi Kebablasan dan Rencana Pembentukan Tim Hukum Nasional
Oleh : Sujarwadi )*
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Ham (Menko Polhukam) Wiranto menyatakan bahwa pihaknya akan menutup media yang membantu melakukan pelanggaran hukum.
Hal tersebut lantas ditanggapi oleh Ade Wahyudin selaku Direktur LBH Pers, dimana ia mengatakan bahwa Wiranto harus menjelaskan kepada publik maksud dari ‘shutdown’ media, apakah tindakan langsung dari pemerintah atau melalui proses hukum. M enurut dia, jika hal itu dilakukan atas asas kekuasaan, maka langkah tersebut tidak dapat dibenarkan.
Sebelumnya Wiranto pernah mengungkapkan bahwa banyak upaya pelanggaran hukum yang terjadi di media sosial. Ia juga mengatakan bahwa Kemenkominfo sudah mengambil sejumlah tindakan, hanya saja diperlukan langkah yang lebih tegas lagi guna menimbulkan efek jera.
Menjawab tudingan dari LBH Pers tersebut, Wiranto telah menjelaskan bahwa tim hukum nasional bukan dalam bentuk badan kerja baru. Tim yang akan memantau perilaku masyarakat termasuk di media sosial ini, menurutnya hanya tim bantuan bagi Kemenko Polhukam untuk mengkaji sejumlah persoalan hukum dan keamanan nasional.
“Itu bukan tim nasional, tapi tim bantuan di bidang hukum yang akan mensupervsi langkah – langkah koordinasi dari kemenko polhukan,” tutur Wiranto.
Tim bantuan hukum yang dicanangkan oleh Wiranto, nantinya akan membantu Kemenko Polhukam dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi dan pengendalian masalah – masalah hukum dan keamanan nasional.
Pihaknya juga mengatakan bahwa perlunya pembentukan tim tersebut dikarenakan banyaknya aksi secara fisik maupun media sosial yang memerlukan penanganan khusus.
Di Jagad media sosial, Wiranto menyebutkan bahwa ada ratusan ribu akun medsos ditutup karena melakukan tindakan inkonstitusional, seperti ujaran kebencian, pornografi hingga radikalisme.
Namun penutupan akun tersebut nyatanya tidak memberikan efek jera bagi pengguna sosial media, hal tersebut terlihat dari masih banyaknya akun yang menyampaikan ujaran kebencian hingga sesuatu yang berbau radikal.
Padahal kita tahu bahwa radikalisme sangatlah tidak cocok untuk demokrasi di Indonesia, karena jika radikalisme tumbuh subur, makan hal tersebut akan menebarkan ketakutan dan perpecahan
“Makanya kemarin saya katakan, pemerintah akan lebih tegas lagi men – take down medsos yang nyata – nyata sudah menghasut, melanggar hukum, dan sebagainya,” tutur Wiranto.
Rencananya tim hukum yang akan dibentuk oleh Wiranto nantinya, akan diisi oleh sejumlah akademisi dari berbagai universitas.
Ia mengklaim bahwa para akademisi tersebut memiliki empati terhadap tugas yang dikerjakan oleh pemerintah. Para akademisi, kata Wiranto, merasa geram dengan sejumlah aktifitas yang tidak sejalan dengan aturan hukum.
“Karena sekarang banyak tentu saja tidak mudah dengan waktu yang sangat singkat untuk memilah mana yang melanggar hukum atau tidak. Nah kami perlu tim bantuan itu,”
Wiranto juga menagaskan bahwa tim hukum nasional tidak akan mengesampingkan peran instansi penegak hukum seperti Kejaksaan hingga Mahkamah Agung. Sebab, ia menyatakan tim hukum nasional hanya sekedar menilai perilaku masyarakat dari sisi akademik
Misalnya, wiranto mencontohkan ketida ada masyarakat yang mengajak masyarakat lain untuk mengepung Kantor KPU pada waktu terterntu. Ajakan itu, lanjutny, perlu dikaji apakah memuat unsur pelanggaran atau tidak.
“Ini urusannya untuk menilai dai masyarakat ke masyarakat. Itu kan dari masyarakat yang punya pemahaman masalah hukum, masyarakat intelektual yang saya ajak, “ ujar Wiranto.
“Kalau mereka mengatakan melanggar hukum, oke kami bertindak. Jadi kami kompromikan. Kalau kami langsung tindak dituduh lagi, seakan – akan pemerintahan Jokowi diktator, kembali ke Orde Baru,” tambahnya.
Tentunya tidak semua pengkritk terkena hukuman, apabila memuat unsur pelanggaran, tentu hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Rencana pembentukan tim pemantau tersebut, berawal dari rasa keprihatinan atas cacian yang ditujukan terhadap Presden Jokowi di media sosial yang diduga melanggar hukum.
Bagaimanapun juga reputasi Presiden harus dijaga, aturan tersebut bukan berarti membatasi demokrasi, namun lebih kepada aturan untuk tidak mencela atau mengajak orang lain untuk membenci seorang pemimpin negara.
Langkah ini tentu bukan berarti mengembalikan Indonesia pada rezim Orde Baru, karena bagaimanapun juga Indonesia adalah negara hukum, dan rencana akan pembentukan tim pemantau tersebut, adalah wujud serius menko polhukam dalam menindak para pelaku ujaran kebencian atau fitnah.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik