Polemik Politik

Di Balik Santri ‘Dadakan’ Post-Islamisme ala Sandiaga Uno

Jakarta, LSISI.ID — Sandiaga Uno mendadak jadi santri. Yang menahbiskannya adalah Presiden PKS Sohibul Iman. Sohibul, tak lama setelah Sandiaga terpilih sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, menyebut Sandi sebagai seorang santri di era Post-Islamisme.

Media sosial pun gempar. Sandi yang tak pernah menimba ilmu di pesantren lantas jadi olok-olok sebagian netizen, terutama mereka yang mendukung Joko Widodo.

Tetapi Pemilu ibarat pasar bebas retorika. Para politikus akan memanfaatkan segala cara untuk menjajakan dagangan politik mereka, meski absurd sekalipun, seperti halnya diperlihatkan oleh Sohibul.

Apa yang dikatakan Sohibul mengenai Sandi, menurut penulis memang terbilang absurd karena istilah santri maupun Post Islamisme yang melekat pada Sandi, bukan saja tak sesuai bahkan justru bertolak belakang.

Sandi bukan santri.

Semasa kecilnya, dia bersekolah di Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) yang kerap diasosiasikan sebagai sekolah bagi para siswa penganut Kristen Protestan. Sandi juga tercatat sebagai siswa SMA Pangudi Luhur yang sarat dengan citra sebagai Sekolah Katolik.

Tumbuh dewasa, Sandi pun tak mencicipi rasanya menjadi kaum sarungan. Ia meraih gelar sarjana dan masternya di Amerika Serikat.

Memang, dalam pernyataannya Sohibul juga menjelaskan bahwa Sandi adalah individu yang mengalami proses Islamisasi dan spiritualisasi.

Namun penulis menduga proses islamisasi dan spiritualisasi yang dialami Sandi baru terjadi saat dirinya bertarung melawan seorang Kristen tulen bernama Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2017 silam.

Sebelum Pilkada DKI, merujuk pada riwayat pendidikannya, Sandi alih-alih berpredikat sebagai santri, adalah seorang pengusaha kosmopolitan, kalau bukan sekuler.

Dia dibesarkan dan dididik di lingkungan pendidikan yang sarat dengan nilai kekristenan untuk kemudian terbang ke sebuah negara yang mengagungkan kebebasan.

Klaim Sohibul soal era Post-Islamisme juga harus dipertanyakan ulang. Penulis berasumsi Sohibul telah membaca sejumlah karya Asef Bayat, sarjana kelahiran Iran yang pertama kali mencetuskan konsep tersebut.

Namun penulis ragu apakah Post-Islamisme itu dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial masyarakat muslim di Indonesia saat ini.

Dalam bukunya, Making Islam Democratic: Social Movements and the Pos-Islamist Turn (2007), Bayat menjelaskan bahwa Post-Islamisme mewakili baik kondisi maupun proyek.

Meninggalkan Prinsip Islam

Pada masa awal, kata Bayat, konsep itu merujuk pada kondisi sosial dan politik sebagai fase eksperimentasi saat seruan, energi, dan sumber-sumber legitimasi Islamisme telah terkuras habis, bahkan dari para pendukung yang sebelumnya sangat berambisi.

Bayat menelurkan konsep Post-Islamisme tersebut dengan mendasarkan penelitiannya pada kondisi sosial di Mesir dan, terutama, kondisi Iran pascarevolusi Islam 1979.

Merujuk pada fase sejarah itu, Bayat menyebut bahwa kelompok Islamis telah menyadari keganjilan dan ketidaksempurnaan sistem yang mereka miliki ketika mencoba menormalkan dan diinstitusionalkan pada satu bentuk pemerintahan.

Situasi itu membuat kelompok Islamis mengambil upaya-upaya pragmatis untuk mempertahankan sistem, yang justru menguatkan upaya meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.

Dengan kata lain, Post-Islamisme, menurut penulis adalah sebuah kondisi ‘kemandegan’ dari kaum islamis yang berkuasa dalam mengimplementasikan konsep-konsep Islam menurut mereka pada sistem kenegaraan.

Adapun Post-Islamisme, sebagai sebuah proyek disebut Bayat sebagai upaya untuk membangun rasionalitas untuk membatasi gerakan Islamisme itu sendiri baik di area sosial, politik, dan intelektual.

Singkatnya, Bayat menyebut proyek itu adalah upaya untuk menekankan pada keberagaman dan dan HAM.

Kembali pada klaim Sohibul.

Di Indonesia, Sohibul bukan satu-satunya orang yang mencoba menggambarkan realitas sosial Indonesia saat ini dengan menggunakan konsep Post-Islamisme Bayat. Sejumlah intelektual lain pun melakukannya, salah satunya Ariel Heryanto.

Dalam hal ini, penulis lebih menyetujui cara yang digunakan oleh Ariel ketimbang cara Sohibul yang vulgar dan sangat longgar.

Tak seperti Sohibul yang retoris, Ariel lebih jeli dan berhati-hati dalam mengamati realitas Indonesia lewat kacamata Post-Islamisme Bayat.

Dalam Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Kaca Indonesia Ariel menekankan pentingnya modifikasi konsep Post-Islamisme untuk digunakan meneropong realitas Indonesia pasca Orde Baru.

Ariel pertama kali membedakan antara Post-Islamisme yang politis, yang berhubungan dengan pemerintahan secara resmi pada tingkat negara dengan Post-Islamisme yang bersifat kebudayaan.

Dalam ranah kebudayaan Ariel merujuk pada fenomena merebaknya para ustaz televisi atau perdebatan sengit mengenai penerapan UU Anti Pornografi, termasuk penerbitan majalah Playboy Indonesia beberapa waktu silam.

Dalam kasus-kasus itu seturut kontroversi yang menyertainya, Ariel menyebut bahwa ketakwaan Post-Islamisme di Indonesia dipicu oleh kebangkrutan Orde Baru yang sekuler, bukan oleh kegagalan rezim Islam yang memang tak pernah berdiri di Indonesia.

Kata Ariel dalam bukunya, sementara masyarakat di Iran merasa jenuh dengan Islamisme, kaum Islamis di Indonesia di pengujung Orde Baru hingga era Reformasi mengalami musim semi yang gemilang.

Musim semi yang dimaksud Ariel adalah fenomena aliansi antara kelompok islamis dengan partai dan aktor politik di Indonesia. Semua ini dipicu oleh pergeseran politik Soeharto yang di pengujung kekuasaannya mulai merangkul kelompok Islam dari berbagai varian. Reformasi yang membuka kebebasan berekspresi semakin mendorong munculnya beragam kelompok islamis.

Situasi itu menimbulkan sebuah ironi.

Islam di Sekeliling Sandi

Ariel menyebut ironi itu sebagai ketegangan antara kekuatan kelompok Post-Islamisme dan kelompok Islamis ultra-konservatif. Menariknya, ketegangan ini sedikit banyak juga tercermin pada sosok Sandiaga Uno.

Sandi, bagaimanapun sosoknya coba dipoles sebagai generasi Post- Islamisme, pada faktanya sulit untuk melepaskan diri dari citra dirinya sebagai bagian dari kelompok Islamis. Tentu saja, citra ini melekat sejak dirinya menjalin hubungan mesra dengan kelompok islamis 212 yang kerap menyuarakan formalisasi hukum Islam di Indonesia.

Contoh paling gamblang adalah dukungan kelompok 212 yang dikomandoi oleh Rizieq Shihab kepada Prabowo Subianto.

Dari sudut pandang manapun Rizieq adalah seorang Islamis- menyerukan penegakan khilafah -yang pada sejumlah aspek memiliki perbedaan dengan konsep khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia.

Sekjen FUI Muhammad Al Khaththath yang ikut mendukung Prabowo-Sandi bahkan secara terang-terangan menyerukan penerapan hukum berdasarkan perintah Islam saat menjadi katib Jumat pekan lalu. Berpidato di hadapan Prabowo di Masjid Sunda Kelapa, Al Khaththath menyerukan penegakan hukum yang berkeadilan, yang harus berdasarkan petunjuk tuhan.

“Kalau tidak mengikuti petunjuk Allah SWT kita tidak tahu mana yang adil,” kata Al Khaththath saat itu.

Singkat kata, Sandi adalah seorang pengusaha (muslim) kosmopolitan yang dikelilingi oleh ketegangan antara semangat Post -Islamisme dengan cita-cita politik kelompok Islamis.

Dalam ketegangan itu Sandi bisa saja menjadi seorang Post-Islamis, atau justru jatuh menjadi seorang ‘Islamis’ jika tak mampu mengendalikan pengaruh lingkungan di sekitarnya.

 

tulisan ini telah terbit di CNNIndonesia.com

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih