Polemik Politik

Didukung Pemerintah, Baiq Nuril Kini Mendapatkan Keadilan

Oleh : Aldia Putra )*

Kasus yang menjerat Baiq Nuril bermula saat dirinya menerima telepon dari Kepala Sekolah berinisial M pada 2012. Dalam perbincangan tersebut, Kepsek M bercerita tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Baiq. Merasa dilecehkan oleh perbincangan tersebut, Nuril-pun akhirnya merekamnya.

            Pada tahun 2015, rekaman tersebut beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Kepala Sekolah M Geram. M lantas melaporkan Nuril ke Polisi karena diduga menyebar rekaman tersebut. M juga menyebutkan bahwa aksi Baiq Nuril telah membuat malu keluarganya.

            Nuril pun menjalani proses hukum hingga persidangan. Hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat memvonis bebas Nuril. Namun, jaksa mengajukan banding hingga tingkat kasasi.

            Atas kasus tersebut, Mahkamah Agung lantas memberinya vonis hukuman dan denda Rp 500.000.000 karena dianggap melanggar Pasal 27 Ayat 1 Juncto Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.

            Lalu Nuril mengajukan PK. Dalam sidang PK, MA memutuskan menolak permohonan PK Nuril dan memutus Nuril harus dieksekusi sesuai dengan vonis sebelumnya.

            Namun akhirnya pemerintah juga mempertimbangkan untuk memberikan Amnesti kepada Baiq Nuril. Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, berdasarkan hasil diskusi dengan sejumlah pakar hukum dan akademisi, pemerintah akhirnya berpandangan bahwa pemberian amnesti dapat diterapkan dalam kasus yang menimpa Baiq Nuril Maqnun.

            Yassona berujar, dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan bersama para penggiat hukum, praktisi dan akademisi, menyimpulkan bahwa amnesti juga dapat diberikan pada orang perseorangan yang mengalami permasalahan hukum seperti Baiq Nuril Maqnun.

            Pihaknya mengakui akan adanya pendapat hukum yang menyebut bahwa amnesti hanya dapat diberikan pada kasus – kasus yang menyangkut persoalan politik.

            Dalam kasus tersebut, kita dapat merujuk pada Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa, Presiden memberi Amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

            Di sisi lain, kasus yang menimpa seorang Guru tersebut telah menimbulkan simpati dan solidaritas masyarakat yang luas, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Rasa simpati tesebut muncul karena pemidanaan terhadap Baiq Nuril dianggap sebagai upaya kriminalisasi dan bertentangan dengan rasa keadilan.

            Padahal, apa yang diperbuat oleh Nuril semata – mata bertujuan untuk melindungi kehormatan, harkat dan martabat dirinya sebagai seorang perempuan.

            Pemberian amnesti kepada Nuril, tentu sejalan dengan program keempat Nawacita Presiden Jokowi, yakni peningkatan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan.

            Dengan demikian upaya pemerintah dalam memberikan amnesti kepada Nuril, merupakan wujud pemerintah yang pro terhadap rakyat utamanya dalam sektor hukum.

            Presiden Jokowi kemudian mengirim surat ke DPR untuk memberikan pertimbangan terhadap amnesti bagi Baiq Nuril.

            DPR juga telah resmi menyetujui agar Jokowi memberikan amnesti kepada terpidana UU ITE, Baiq Nuril. Persetujuan tersebut diambil dalam sidang paripurna ke – 23 masa sidang V Tahun 2018/2019 yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Utut Adianto sebagai pimpinan sidang.

            Wakil ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik menyampaikan, bahwa pihaknya telah mempertimbangkan aspek keadilan untuk memberikan pertimbangan amnesti bagi Nuril. Erma menilai bahwa Baiq Nuril bukanlah seorang pelaku, namun korban yang melindungi diri dari kekerasan verbal dan seksual.

            Upaya pemerintah dalam memberikan amnesti terhadap Baiq Nuril, ternyata disambut baik oleh Paguyuban Korban Undang – undang Informasi dan Transaksi Elektronik (PAKU ITE). Muhammad Arsyad selaku ketua Paku ITE tersebut juga berpendapat bahwa Kasus UU ITE seperti itu tak perlu sampai ke tangan Presiden. Karena menurutnya, kasus tersebut seharusnya dapat diselesaikan di tingkat pengadilan.

            Arsyad mengakui banyak kejanggalan dari kasus yang menimpa Baiq. Selain dari sisi denda, tuduhan yang ditujukan pada Baiq juga tidaklah beralasan. Penghasilan Baiq Nuril sebagai Guru Rp 700.000 namun denda yang ditujukan kepada Nuril mencapai Rp 500 juta.

            Paku ITE mencatat, ada sekitar 290 laporan pelanggaran UU ITE yang didominasi kasus pencemaran nama baik selama setahun terakhir. Ketidakjelasan pasal menurut Arsyad menjadi sebab dari banyaknya pihak yang menjadi korban UU ITE.

            Tentu kita berharap agar kasus seperti ini tidak terulang, sehingga tidak ada korban yang semestinya dilindungi lantas menjadi korban dan terjerat undang – undang.

)* Penulis adalah pengamat sosial politik

Show More

Related Articles

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih