Dukung Undang-Undang Ormas Sebagai Alat Pelindung Pancasila
Oleh : Ricky Rinaldi )*
Sejak disahkannya Perppu No. 2 tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat menjadi sebuah Undang-Undang telah menimbulkan berbagai diskursus baik pro dan kontra di kalangan akar rumput maupun masyarakat elit kelas atas. Di negara demokrasi, pro dan kontra adalah hal yang wajar, sehingga tidak perlu diperuncing menjadi konflik. Kita tidak perlu banyak berdebat tentang UU Ormas yang difitnah sebagai cara sebuah rezim diktator untuk melanggengkan kekuasannya, kini saatnya kita mulai memahami bahwa setiap UU yang dikeluarkan sejatinya memang untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk negara ini kedepannya. Latar belakang UU tersebut diciptakan karena kondisi realitas ideologi Pancasila mulai terancam dengan munculnya ideologi-ideologi yang diimpor dari negara lain. Komunisme sebagai salah satu ideologi yang pernah mengancam Pancasila sampai saat ini sudah tidak dapat berkutik karena telah terbendung TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme. Namun perkembangannya, saat ini ideologi yang mengancam Pancasila tidak hanya komunisme, tetapi juga ideologi lain seperti Islam Fundamentalis yang mengusung Kekhalifahan untuk mengganti Pancasila. Dan ideologi itu belum dapat terbendung, justru tersebar dengan massif dan sistematis sampai disahkannya UU No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas.
Setiap masyarakat Indonesia sudah seharusnya sadar bahwa kebebasan dan demokrasi itu ada batasnya, tidak bisa dibiarkan berkembang liar tanpah arah yang justru akan menodai demokrasi itu sendiri. Yang justru menjadi sangat unik dan menarik saat ini adalah para pentolan sejumlah ormas Islam yang selama ini gencar menentang demokrasi dan segala ‘tetek-bengeknya’ (termasuk Presiden, DPR, dan MK) sambil menyuarakan tentang pentingnya “kedaulatan dan hukum Tuhan” dalam mengatur kehidupan bangsa dan negara, secara tiba-tiba, setelah ormas-ormas mereka dibekukan oleh pemerintah, bersuara lantang membela demokrasi dan hak-hak kemanusiaan serta menuduh pemerintah tidak demokratis dan tidak menghargai spirit konstitusi UUD 1945 yang telah mereka haramkan itu.
Seperti telah diketahui bahwa melalui UU Ormas permerintah telah memutuskan untuk membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang sebenarnya lebih cocok disebut sebagai organisasi politik. Pembubaran HTI tentu tidak asal-asalan tetapi dilalui dengan proses dan pertimbangan yang matang. HTI selama ini sudah sangat jelas ingin mendirikan sebuah Kekhilafahan dan menggantikan Pancasila dengan yang lain. Sebagaimana Hizbut Tahrir Indonesia pernah mendesak TNI untuk melakukan kudeta. “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam, ini sudah waktunya membela Islam, ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah!” demikian pernah dinyatakan Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib di hadapan simpatisan HTI pada 2014 silam.
Selain itu sebuah survei dari PPIM tentang intoleransi dengan responden 1200 perempuan dan laki-laki juga menunjukkan bahwa meskipun 76% sepakat dengan nilai-nilai Pancasila, dan 84.7% setuju NKRI berbasis Pancasila, tetapi Survei menemukan ada 22.8% sepakat inspirasi negara Islam. Survey ini juga menunjukkan persepsi buruk terhadap non muslim yaitu 62.7% tdk setuju jadi presiden, 64% setuju jadi guru di sekolah umum; 55.3% membolehkan acara kebaktian:42.2% tidak boleh, 51.6% setuju membangun gereja: 45.8% tidak setuju. Berdirinya HTI dan kegiatannya selama ini tentu secara langsung maupun tidak langsung turut menyebabkan adanya angka-angka menyedihkan tersebut.
UU No. 2 Tahun 2017 itu sudah berada di jalur yang benar dan wajib kita semua dukung pelaksanaannya. Itu artinya, pembekuan ormas tersebut memang merupakan sebuah keharusan karena selama ini telah menodai dan merusak sendi-sendi kenegaraan serta nilai-nilai persaudaraan, keagamaan, pluralisme, dan kebangsaan. Beberapa ormas selama ini sudah sangat jelas melakukan berbagai tindakan radikalisme (termasuk terorisme), intoleransi, dan anti-kebhinekaan yang bukan hanya bertentangan dengan semangat Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 tetapi juga telah membahayakan bagi kelangsungan kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia tercinta. Ormas seperti Mujahidin Indonesia (MMI), Forum Umat Islam (FUI), dan Front Pembela Islam (FPI) yang juga terang-terangan mendiskreditkan ideologi Pancasila. Beberapa di antara mereka seperti HTI, JAT dan MMI bahkan menyerukan penggantian ideologi dan konstitusi negara serta sistem politik-pemerintahan dan fondasi kenegaraan. JAT dan MMI bahkan terlibat dalam gerakan dan jaringan terorisme global dan nasional.
UU ini sudah sangat jelas hanya ditujukan untuk ormas yang anti Pancasila. Ini artinya bahwa ormas yang dengan sengaja sejak awal pendiriannya sudah memiliki agenda mengganti negara Pancasila akan menjadi sasaran UU ini. Bagaimana kalau UU ditafsirkan berbeda dan dipakai menyerang minoritas lain? Jika terjadi maka tentu saja harus dikembalikan lagi kepada tujuan dan konteks dikeluarkannya UU ini. Selanjutnya perlu dilihat apakah organisasi kelompok minoritas tersebut memiliki agenda mengganti Pancasila. Jika tidak, maka tentu saja UU ini tidak berlaku. Meskipun kenyataannya kelompok minoritas masih terjerat tafsir penodaan dan penistaan agama. Tapi selama mereka tidak anti Pancasila, tentu saja tidak dalam konteks UU ini.
Saat ini kita harus kompak mendukung UU Ormas tersebut dan mengatakan tidak pada segala bentuk radikalisme yang sedang mengancam negara kita. Memang diperlukan langkah-langkah berani untuk menjaga keutuhan Indonesia, dan itulah yang dilakukan Presiden Jokowi saat ini. Pro dan kontra banyak pihak dalam melihat UU ini, perlu difasilitasi dan segala masukan yang konstruktif terhadap UU ini juga harus dipandang dengan baik, namun bukan untuk dijadikan sebagai bola panas yang akan dipakai oleh para pendukung radikalisme untuk mendelegitimasi posisi negara. Kita dukung dan dorong UU Ormas ini agar lebih melindungi dan menjaga Ideologi Pancasila dan rumah besar kita bernama Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)