Eks PA 212 Dukung Jokowi Ma’ruf
Oleh: Fajar Zulfadli S )*
2 Desember 2016 menjadi sejarah pergerakkan massa yang besar dengan tujuan melawan terhadap penistaan agama islam yang saat itu dilakukan oleh Ahok dengan dasar fatwa MUI yang saat itu bernamakan GNPF-MUI. Gerakan ini pun akhirnya dinamakan Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) dan merubah GNPF-MUI menjadi GNPF Ulama. Namun, berkembangnya waktu gerakan ini merubah haluan menjadi gerakan politik yang akhirnya mencoba memasuki politik yang ada di Indonesia. PA 212 mengatakan kepada publik bahwa pemimpin Indonesia yang layak adalah harusnya dari kalangan Ulama, dan mengatakan bahwa Presiden Jokowi sama sekali tidak menghargai ulama sehingga menginginkan pergantian presiden pada 2019 yang dikenal dengan tagar #2019GantiPresiden. Untuk mewujudkan cita-cita organisasi, mereka memutuskan untuk mendukung Prabowo Subianto untuk melawan Presiden Jokowi dengan dukungan para Ulama dan Calon Wakil Presiden dari Prabowo Subianto adalah ulama.
Namun ternyata, pengumuman calon Presiden dan Wakil Presiden memberikan kejutan luar biasa bagi kelompok ini dimana selama ini pengecapan Presiden Jokowi sebagai Presiden yang tidak menghargai Ulama memilki Ulama disampingnya sebagai Calon Wakil Presiden yaitu Ketua MUI KH Ma’ruf Amin yang juga pernah memimpin GNPF-MUI sebagai pemimpin ulama seluruh Indonesia, bukankah ini bukti bahwa pernyataan kelompok ini sama sekali tidak berdasarkan apa yang mereka katakana mendukung ulama dan alih-alih mendukung Presiden Jokowi mereka tetap mendukung Prabowo yang memilih Sandiaga Uno sebagai wakilnya, dari hal tersebut dapat dilihat betapa bertolak belakangnya kelompok ini dengan janji dan deklarasinya pada awal pembentukan.
Setelah pendeklrasian yang terjadi, kelompok ini kembali menyerang Presiden Jokowi dengan mengatakan menggunakan Ulama untuk memecah umat muslim di Indonesia, padahal Presiden Jokowi mendengarkan aspirasi rakyatnya yang dicetuskan oleh PA 212 bahwa pemimpin Indonesia harus dari kalangan ulama. Sehingga, dapat dinilai pemimpin yang sebenarnya dan tepat dengan apa yang diinginkan rakyatnya adalah siapa. Sedangkan, Sandiaga Uno yang bukan berasal dari kalangan agamis ataupun ulama menjadi kontroversi yang dikembangkan, berawal dari setelah pencalonannya Sandiaga diberikan gelar sebagai santri. Kemudian, hal yang paling berbahaya dan paling tidak masuk akal adalah penyebutan Sandiaga Uno sebagai ‘Ulama’, hal ini sangat memprihatinkan, dapat dinilai siapa yang menggunakan agama untuk alat seolah-olah gelar ‘ulama’ hanya main-main.
Namun demikian, akhirnya terdapat anggota PA 212 yang tersadar akan apa tujuan kelompok ini dibentuk dan benar-benar ingin mendukung keputusan para ulama dan mendukung ulama sesungguhnya. Razman Arief Nasution menjadi ketua gerakan PA 212 yang akhirnya dinamakan gerakan eks PA 212 menjadi pendukung Presiden Jokowi dan Ulama KH Ma’ruf Amin, ulama yang sebenarnya dan sudah ada rekam jejaknya sebagai ulama bukan ulama-ulamaan. Dengan melakukan deklarasi pada 11 Oktober 2018 di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat dan menjadi TKN Jokowi-Ma’ruf Amin. Deklarasi ini juga menjadi bukti bahwa gerakan PA 212 telah terpecah belah karena mulai masuknya pemikiran yang mementingkan kelompok tertentu dan pribadi disini sudah tidak benar-benar mendukung ulama dan mengawal ulama yang sesungguhnya untuk memimpin Indonesia.
Eks PA 212 menyadari bahwa Gerakan 212 muncul setelah keluar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dipimpin Ma’ruf Amin, terkait pernyataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tentang Al-Maidah 51. Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U) saat itu berkomitmen mengawal fatwa yang dikeluarkan Ma’ruf Amin. Maka itu, mereka mempertanyakan mengapa GNPF malah berpaling. Dengan demikian, harusnya masyarakat juga harus menyadari gerakan mana yang benar dan sesuai dengan tujuan awalnya, dapat disimpulkan gerakan PA 212 terpecah dengan jalan benar yang diambil eks PA 212 dan PA 212 yang kehilangan arah dan tujuannya yang sebenarnya gerakan tersebut dibentuk.
)* Pemerhati Politik