Framing Negatif Jelang Debat Pilpres Periode II
Oleh : Rizal Arifin )*
Mendekati Debat Kedua Pilpres 2019 ditabuh, geliat masing-masing kandidat semakin memanas, khususnya dari pihak oposisi. Petahana mungkin tidak begitu kewalahan karena publik bisa langsung menilai capaian dan kinerjanya. Lain halnya dengan oposisi, jika tidak ada sesuatu yang baru ditawarkan berarti sama saja membuang sumber daya dengan cuma-cuma. Dan ini disadari betul oleh pasangan Prabowo-Sandi. Apapun caranya dilakukan agar membuat publik terkesan, yang diharapkan berupada simpati namun hanya sebatas sensasi.
Layaknya remaja yang sedang puber, Prabowo-Sandai selalu ingin jadi buah bibir masyarakat. Tatkala sudah kehabisan akal sehat, berbagai cara tetap dilakukan untuk mendapatkan perhatian. Bukan jarang tapi malah sebagian besar menebar kebohongan, kebencian, fitnah, dan ketakutan. Tidak berlebihan jika sepantasnya ujaran Prabowo dan Sandi di media disertai label “adegan berbahaya, tidak untuk ditiru”.
Berbagai pernyataan Prabowo tidak terlepas dari yang disebutkan diatas. Bicara menggelegarnya seolah kepedean dengan apa yang disampaikan. Namun nyatanya setiap dikonfirmasi, selalu mengelak dan berlindung pada “saya dengar”. Tampak jelas ini adalah sikap pecundang, bukan Macan Asia seperti klaimnya.
Masih hangat diingatan, bagaimana Prabowo berapi-api menyampaikan utang negara dalam kondisi darurat dan APBN bocor. Prabowo menganggap pemerintah tidak mampu mengelola keuangan negara dan setiap proyek difitnah ada mark up. Bahkan dengan kejamnya Menteri Keuangan disebut menteri pencetak utang. Padahal instansi terhormat itu dipimpin oleh seorang pakar ekonomi kelas dunia, yaitu Sri Mulyani Indrawati.
Tidak banyak jauh berbeda dengan wakilnya, Sandiaga Uno juga kerap bermain di area panas itu. Tak sedikit kritikan negatif tanpa bukti yang dilontarkan. Pada tema sensitif yang menyentuh masyarakat seperti ekonomi, ketahanan pangan, dan kesejahteraan sosial. Publik sudah tahu berbagai kebohongan yang disampaikan Sandi. Namun bedanya Sandi, ia sangat bermuka dua, kepada petani dan nelayan dijanjikan harga tinggi sedangkan kepada emak-emak harga murah dan terjangkau ujarnya.
Benar apa kata pepatah, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak”. Sangat cocok disematkan kepada Prabowo-Sandi. Prabowo yang sangat getol mengkritik utang ternyata berkalung utang. Triliunan utang PT. Kertas Nusantara milik Prabowo baru akan selesai tahun 2031, dengan asumsi utang lancar dibayarkan. Namun faktanya berkali-kali karyawan perusahaan tersebut melakukan unjuk rasa karena hak yang tidak dibayarkan perusahaan. Pertengahan tahun lalu, sekitar 1.500 karyawan PT. Kertas Nusantara menuntut Gaji dan THR yang selama 4 tahun tidak dibayarkan. Kurang fantastis gilanya Prabowo?. Puluhan ribu istri dan anak karyawannya dizolimi, mungkin tidak sedikit yang harus mengais demi bertahan, putus sekolah, atau bahkan mati kelaparan. Berjuta pertanyaan menyelimuti “kenapa mereka tidak resign? Tuan kan tahu Prabowo jago ngomongnya” .
Sandiaga Uno tidaklah sesuci omongannya. Skandal korupsi global Panama Paper turut menyeret namanya. Mendirikan perusahaan cangkang di negara surga pajak (tax haven) adalah kejahatan keuangan global abad 20. Setidaknya ada dua motif utamanya, yaitu menghindari pajak dan pencucian uang. Sontak dunia sangat mengecam ini, mengacaukan sistem perekonomian dan moneter Internasional. Sandiaga membenarkan nama perusahaan yang disebut dalam Panama Paper adalah miliknya. Motifnya belum dirilis ke publik, baik menghindari pajak ataupun pencucian uang adalah fraud yang dapat dipidanakan.
Apakah ini adalah playing victim Prabowo-Sandiaga edisi kesekian?. Menuding lawan politiknya untuk menutupi kecurangan yang sebenarnya mereka lakukan. Semua sudah tahu jawabannya. Siapapun tidak akan rela menyerahkan ibu pertiwi ke tangan kaum munafik nan pecundang.
)* Penulis adalah pengamat masalah sosial politik