Polemik Politik

Gandeng Berbagai Pakar Hukum, MAHUPIKI Gelar Sosialisasi KUHP di Sumatera Barat

Padang – Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) menggelar sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Kota Padang, Sumatera Barat. Hal ini dilakukan untuk mengisi masa transisi KUHP nasional yang mulai berlaku sejak tiga tahun pasca pengesahannya.

Dalam sosialisasi tersebut menghadirkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Prof Dr R Benny Riyanto SH MH, Akademisi FHUI, Prof Dr Harkrestuti Harkresnowo SH MA dan Anggota Tim Perumus Rancangan KUHP yang juga Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Mahupiki, Dr Yenty Ganarsih SH MH.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang,Prof Dr R Benny Riyanto SH MH CN mengatakan bahwa KUHP merupakan legacy kita bersama atau produk lintas generasi. Karena itu, diharapkan agar Bersama bisa ikut mensosialisasikan KUHP baru ini dengan baik.

Menurutnya, sosialisasi ke masyarakat penting dilakukan dalam masa tiga tahun transisi ini. Namun, proses tersebut disampaikan Benny tidaklah mudah, karena membutuhkan kerja keras dari para penegak hukum maupun para dosen, khususnya yang mengajar hukum pidana.

“KUHP memang telah disahkan, namun dalam KUHP itu sendiri memiliki proses transisi atau aturan peralihan. Maka, masa transisi ini harus dijalani terlebih dahulu kurang lebih selama tiga tahun,” jelas Benny.

Prof Benny menjelaskan bahwa KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Belanda dan memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvS) dan diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. WvS ini pun belum ada terjemahan resminya, sehingga menimbulkan multitafsir. Upaya pembaruan KUHP dimulai sejak 1958 yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Pada tahun 1963 diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I yang menghasilkan berbagai resolusi antara lain untuk merumuskan KUHP Nasional.

“Secara Politik Hukum KUHP (WvS) tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa maupun dasar falsafah Negera yaitu Pancasila,” ungkap Prof. Benny.

Sementara itu, KUHP Nasional merupakan perwujudan Reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh berdasarkan: Nilai-nilai Pancasila Budaya Bangsa dan HAM secara universal.

Prof Benny juga menegaskan bahwa tidak benar KUHP Nasional mengatur terlalu banyak perbuatan menjadi suatu Tindak Pidana atau Overkriminalisasi, karena Buku II KUHP Nasional hanya 423 Pasal, sedangkan Buku II dan III KUHP (WvS) ada 465 Pasal.

Dalam kesempatan yang sama, Akademisi FHUI, Prof Dr Harkrestuti Harkresnowo SH MA mengatakan ada sejumlah kebaruan dari KUHP baru, salah satunya terkait Living Law.

“Living Law sebagai bentuk pengakuan & penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup, akan tetapi dibatasi oleh Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum yang berlaku dalam masyarakat bangsa-bangsa.

Selain itu, pasal perzinaan, tentu bertujuan untuk menghormati nilai-nilai keindonesiaan dan Lembaga Perkawinan sebagaimana dimaksud UU No. 1 Tahun 1974, sekaligus tetap melindungi ruang privat masyarakat. Perlindungan ruang privat masyarakat tersebut dilakukan dengan mengaturnya sebagai delik aduan absolut, artinya tidak ada proses hukum tanpa ada pengaduan yang sah dari mereka yang berhak mengadu karena dirugikan secara langsung, yaitu suami atau istri bagi mereka yang terikat perkawinan dan orang tua atau anak bagi mereka yang tidak terikat perkawinan.

Prof Harkristuti mengatakan, KUHP baru berlaku tiga tahun sejak diundangkan yaitu pada 2025.

“Saya berharap semua pihak berkontribusi dalam membantu sosialisasi KUHP baru dalam bentuk pelatihan dan lainnya,” ujar dia.

Sementara itu, Anggota Tim Perumus Rancangan KUHP yang juga Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Dr Yenty Ganarsih SH MH mengatakan bahwa KUHP yang baru disahkan baru berlaku tiga tahun mendatang. Masa transisi itu akan diisi dengan proses sosialiasi ke berbagai pihak, tak terkecuali masyarakat.

Menurut Yenti, engagement period atau masa adaptasi tiga tahun adalah konsekuensi dalam pembentukkan UU yang bersifat global. Selama jeda tiga tahun tersebut, sosialisasi akan dilaksanakan ke aparat penegak hukum, akademisi, dan masyarakat.

Hadir juga dalam acara sosiaisasi tersebut, Kajati Sumbar, Kabinda Sumbar, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sumbar, Rektor Universitas Andalas, Rektor Universitas Taman Siswa, Staf Ahli Gubernur Sumbar, PWNU, unsur Muspida dan unsur Forkominda serta kalangan mahasiswa.

Dalam sambutan pembukaan, Rektor Universitas Andalas , Prof Yuliandri, mengatakan bahwa dengan adanya KUHP baru, merupakan hal yang menandai sejarah Indonesia melakukan transformasi hukum pidana nasional. UU No 1 Tahun 2023 perlu ditetapkan karena harus mewujudkan UU Pidana yang berdassarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. []

*

Show More

Related Articles

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih