Golput Adalah Sebuah Kerugian untuk Diri Sendiri
Oleh : Mega Pratiwi *)
Golput alias golongan putih adalah mereka yang memiliki hak pilih tetapi secara sadar memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, ada juga yang menyebutkan bahwa golput adalah golongan yang mencoblos warna putih diluar kotak yang tersedia. Pada pemilu 1999, tingkat partisipasi pemilih mencapai 90 % lebih. Setelahnya, golput selalu melebihi angka 15 % dari jumlah pemilih pada pemilu legislatif maupun eksekutif.
Pada Pemilu Legislatif 2004, Jumlah golput mencapai 15,9 %. Angka tersebut meningkat pada pemilu Presiden putaran pertama dan kedua. Angka golput saat Pilpres 2004 mencapai 21,8 % dan 23,4 %. Pada Pemilu Legislatif 2009, jumlah golput meningkat hingga 29,1 %. Pada Pilpres tahun yang sama, jumlah pemilih yang tak menggunakan suaranya berjumlah 28,3 %. Keberadaan golput berlanjut di Pileg 2014, dengan 24,89 % pemilih masuk kategori ini. Pada saat Pilpres 2014, angka golput mencapai titik tertinggi yakni 30 % lebih dari jumlah pemilih.
Bagaimana pada Pemilu yang akan dilaksanakan pada April 2019 ?, tentu masih menjadi tanda tanya apakah angka golput akan mengalami peningkatan atau tidak. Direktur Eksekutif Indoneis Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan salah satu faktor yang bisa membuat pemilih tidak menggunakan suaranya adalah rasa kecewa. “Ancaman tingginya golput bisa saja diembuskan karena kekecewaan sebagian masyarakat terhadap kandidat,” Ujarnya.
Imbauan agar masyarakat tidak golput selalu disampaikan peserta, pegiat, penyelenggara, hingga pengawas Pemilu. Seruan serupa juga disampaikan jelang dimulainya Pemilu serentak tahun 2019. Komisioner KPU Viryan Aziz menghimbau dan mengajak masyarakat Indonesia yang sudah memiliki hak pilih, untuk menggunakan hak pilihnya pada pemilu 17 April 2019. Menurut Viryan, pemilih rugi jika menjadi golput atau tidak menggunakan hak pilihnya.
Tindakan golput memang sah secara hukum, sesuai dengan pasal 28 UUD dan Pasal 23 UU tentang HAM. Pasal 28 UUD berisi apa – apa saja yang dianggap hak asasi tiap manusia, sementara pasal 23 UU HAM berisi : “(1) setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya; (2) setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai – nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa.”
Meski demikian, masyarakat yang telah memiliki hak pilih sebaiknya menggunakan hak pilihnya, semakin besar partisipasi pemilih maka akan semakin baik legitimasi pemilu kita. Jika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu, maka dirinya tidak terlibat dalam menentukan nasibnya 5 tahun mendatang. Padahal kesempatan tersebut ada untuk memilih pemimpin baik di sektor legislatif maupun eksekutif.
Viryan juga mengakui bahwa golput adalah hak. Tapi sudah tidak keren. Karena kerennya golput hanya ada di rezim Orde Baru. Kali ini setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menggunakan hak pilihnya, tidak ada intimidasi, potensi manipulasi seperti masa lalu dan satu suara memang menentukan. Golput lahir dari pemikiran sebagian orang yang menganggap bahwa pemerintahan hanya boleh diurus oleh pemimpin yang sesuai dengan konsep ideal kelompok mereka sendiri tanpa mau bernegosiasi dengan realitas yang ada.
Dalam konteks demokrasi, tentu masih banyak kelompok masyarakat yang kritis. Masih ada media dan pers yang siap mengawal janji – janji politisi setiap hari. Masih ada lembaga – lembaga sipil independen yang siap mengawal pemerintahan.
Sehingga, golput bisa dikatakan seperti mengabaikan satu fakta bahwa masih ada kelompok masyarakat cerdas lain dalam tatanan demokrasi selain mereka. Sikap golput seolah – olah melihat tidak ada lagi jalan keluar dan memandang Cuma mereka saja yang punya konsepsi ideal. Lalu ketika konsep ideal tak dapat diterapkan, lantas mereka menyalahkan realita di lapangan.
Oleh karena itu sudah sepatutnya kita menghilangkan sikap apatis terhadap politik, lebih baik untuk berdiskusi bersama teman sembari minum kopi dan melihat rekam jejak calon pemimpin. Memang benar adanya, jika dalam Pemilu kali ini ada perdebatan yang tidak substantif. Tetapi, tidak sedikit diskusi yang bermutu. Kalau pun terjadi perdebatan yang tidak substantif, tentu kita tidak perlu terbawa perasaan atas perdebatan tersebut.
Meski golput merupakan hak, namun dengan adanya golput, secara tidak langsung kita akan memperbesar potensi manipulasi suara. Saat kita tidak menggunakan hak pilih, tersisa satu surat suara yang tak digunakan, membuka potensi manipulasi suara oleh oknum yang mungkin melakukan kecurangan. Satu suara kita yang tak digunakan, bisa saja berpindah ke perolehan suara suatu kandidat lain secara tidak sah.
Selain itu anggaran untuk menyelenggarakan pemilu juga terbuang sia – sia. Menggunakan hak pilih merupakan langkah konkrit untuk memanfaatkan anggaran pemilu untuk memilih pemimpin yang terbaik. Untuk itu alangkah baiknya jika kita meluangkan waktu untuk menelusuri rekam jejak para kandidat agar kita memiliki pilihan pada Pemilu 2019 mendatang. Pilihlah kandidat yang paling sedikit catatan keburukannya.
Perlu diingat bahwa siapapun kandidat yang mendapatkan suara terbanyak, seburuk apapun, akan tetap terpilih dan menjadi pemimpin yang kelak akan membawa arah perubahan bangsa.
*) Mahasiswa Hukum UNBRAW