Gugatan UU Cipta Kerja Dapat Melalui MK
Oleh : Alfisyah Dianasari )*
UU Cipta Kerja sempat jadi kontroversi karena ada pihak yang salah paham mengenai pasal-pasalnya. Ada pula yang ternyata hanya termakan hoax. Presiden Jokowi mempersilakan mereka yang tak menyetujui UU Cipta Kerja untuk melakukan judicial review langsung ke Mahkamah Konstitusi.
Omnibus law UU Cipta Kerja bisa memegang rekor sebagai Undang-Undang yang paling banyak diberitakan dan diprotes. Penyebabnya karena banyak orang yang kurang memahami pasal-pasalnya. Juga ternyata mereka hanya terkena berita palsu tentang UU tersebut. Namun tidak mengecek kebenarannya, dan langsung emosi saat berdemo.
Demo menolak omnibus law tak dilakukan hanya sekali, tapi sampai berkali-kali. Padahal setelah unjuk rasa, Presiden Jokowi sudah berpidato untuk meluruskan hoax tentang Undang-Undang tersebut. Juga mempersilakan buruh atau kelompok lain yang protes agar mengajukan gugatan langsung ke Mahkamah Konstitusi.
Setelah dipersilakan mengajukan judicial review, maka ada beberapa orang yang pergi ke MK dan menggugat omnibus law UU Cipta Kerja. Pertama, ada 2 pekerja bernama Ayu Putri dan Dewa Putu Reza. Lalu ada 5 warga sipil yang tak hanya berstatus karyawan swasta, tapi juga mahasiswa dan pelajar. Ada pula 3 warga Papua yang mengajukan gugatan ke MK.
Serikat buruh juga mengajukan gugatan ke MK. Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia sedang mempersiapkan 2 gugatan tentang omnibus law, khusus klaster ketenagakerjaan. Ia mengungkapkan, kedua jenis gugatan adalah uji formil dan judicial review. Namun ia masih menunggu sambil mempersiapkan materi gugatan dan melihat situasi.
Kebebasan yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada masyarakat untuk menggugat sebuah Undang-Undang langsung ke Mahkamah Konstitusi patut kita apresiasi. Karena menunjukkan bahwa pemerintah tidak arogan dan tiran, tapi benar-benar menerapkan demokrasi di Indonesia. Kemudahan untuk menggugat memperlihatkan kebijaksanaan Jokowi.
Dalam setahun menjabat sebagai kepala negara untuk kedua kalinya, Jokowi menunjukkan tipe kepemimpinannya yang mau mendengar suara rakyat. Saat omnibus law masih dalam proses pembuatan, juga ada masukan dari berbagai pihak. Pun ketika ada yang tidak setuju dengan pasal-pasalnya, boleh langsung pergi ke MK. Tentunya dengan membawa berkas yang lengkap.
Bandingkan dengan masa orde baru. Ketika ada gelombang protes, solusinya adalah peredaran petrus yang menakutkan. Jadi kebebasan untuk menggugat ini menunjukkan bahwa pemerintah sekarang berjalan dengan maju, bukan mundur. Selain itu, Presiden juga menjamin kebebasan berpendapat masyarakat yang dimulai sejak era reformasi.
Namun, bebas berpendapat bukan berarti boleh berkata sembarangan. Daripada mereka membuat status di meda sosial dan terjerat UU ITE karena dianggap menghina pemerintah karena tak setuju dengan omnibus law, bukankah lebih baik mengajukan gugatan ke MK? Secara tidak langsung, presiden melindungi rakyatnya dari kemungkinan terburuk.
Izin untuk menggugat omnibus law juga menghindarkan terjadinya demo susulan. Sehingga masyarakat bisa langsung pergi ke MK, alih-alih berunjuk rasa. Sudah lelah berdemo, kepanasan di jalan, malah akhirnya ketularan corona. Bagaikan sudah jatuh lalu tertimpa tangga.
Banyak orang akan terhindar dari bahaya penularan corona dari klaster demo. Karena dari unjuk rasa 6-8 oktober lalu, sudah ada 12 orang yang menunjukkan hasil reaktif pasca dites rapid. Presiden tentu memikirkan efek jangka panjang dari sebuah keputusan, dan memperbolehkan mereka untuk pergi ke MK bisa mengamankan banyak orang.
Jika Presiden Jokowi memperbolehkan rakyat untuk menggugat omnibus law UU Cipta Kerja ke MK, maka menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang demokratis. Nanti hakim agung yang akan memutuskan, apakah UU tersebut benar merugikan rakyat, atau malah menguntungkan.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Depok