Polemik Politik

Bumikan KUHP Nasional di Semarang, Mahupiki: Produk Hukum Demokratis

Semarang — Para akademisi menilai bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional merupakan sebuah produk hukum yang sangat demokratis lantaran juga turut mengakomodasi dan menghormati keberadaan masyarakat adat serta hukum adat (living law).

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Prof. Indriyanto Seno Adji menilai bahwa tindak pidana secara umum bersifat sangat dinamis mengikuti perkembangan dan dinamika global, regional, hingga nasional. Oleh karenanya perlunya pembaruan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia melalui KUHP nasional ini.

Pihaknya pun menyayangkan pemahaman dari beberapa orang terhadap KUHP nasional yang tidak secara mendalam, utuh dan rinci.

“Pemahaman yang rendah dan mudah termakan isu ini yang memunculkan miskomunikasi dan misinformasi publik akan pemahaman secara utuh substansi pasal-pasal yang diatur dalam KUHP”, jelas Prof Indriyanto dalam sosialisasi KUHP di Semarang Senin (1/2)

Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo menilai beberapa pasal yang menjadi perhatian publik dalam KUHP baru ini diantaranya berkaitan dengan Living Law atau hukum adat, aborsi, perzinaan dan kohabitasi, serta penghinaan terhadap pimpinan negara atau lembaga negara.

Dia menambahkan bahwa kohabitasi bahkan menjadi salah satu pasal yang paling disorot pada saat terjadi penolakan rencana KUHP pada tahun 2019 lalu.

“Pada saat penolakan kalangan mahasiswa yang mana mayoritas berasal dari para anak muda berkaitan perumusan dan rancangan KUHP ini pasal yang mereka soroti adalah perzinaan atau kohabitasi”, ucap Prof. Harkristuti.

Generasi muda menganggap bahwa kohabitasi atau tidak merupakan hak privasi dari masing-masing orang, tetapi perlu disampaikan dan ditekankan kepada publik bahwa aturan tersebut adalah demi menjaga nilai ketimuran dan budaya bangsa Indonesia.

Selain itu, tambah Prof. Harkristuti, perlu pemahaman bahwa tindak pidana ini berdasar delik aduan dengan pidana 9 bulan sampai maksimal 1 tahun atau pidana denda maksimal 10 juta atau putusan hakim yang dapat memutus sanksi pidana kerja sosial.

Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Hukum (FH) UI, Prof. Topo Santoso mengatakan salah satu perbedaan antara KUHP baru atau nasional dengan KUHP yang lama atau Wetboek van Strafrecht (WvS) adalah sudah munculnya pembahasan beserta naskah akademiknya dalam bab atau buku tindak pidana, pertanggung jawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan.

Dia juga mengungkapkan KUHP nasional ini merupakan bentuk pembaruan atau update dari yang lama dengan mengadopsi atau mengacu KUHP WvS.

“Dalam KUHP nasional sebagian mirip dengan KUHP lama, tetapi salah satu yang baru adalah munculnya pembahasan tindak pidana dengan perantara alat yang sebelumnya tidak ada”, ucapnya.

Hal ini menunjukkan perkembangan zaman yang memungkinkan terjadinya tindak pidana melalui perantara alat yang canggih atau artificial intelligence sudah diatur dalam KUHP nasional ini.

Untuk diketahui kegiatan sosialisasi KUHP digelar di Hotel Patra Semarang Jawa Tengah. Acara itu digelar oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bekerja sama dengan Universitas Negeri Semarang yang dihadiri oleh ratusan orang terdiri dari unsur Forkominda dan tokoh-tokoh terkemuka di Jawa Tengah.

*

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih