Hadapi Pemilu 2024 dengan Semangat Persatuan Tanpa Politisasi SARA
Oleh: Martha Mulya Bakti)*
Pemilu yang damai dan bermartabat dapat terwujud jika semua pihak bersama-sama menghindari politisasi Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa harus dijunjung tinggi, serta saling menghormati perbedaan. Pemilu 2024 tinggal hitungan haru lagi. Pesta demokrasi ini merupakan momen penting bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin yang terbaik. Namun, di balik kegembiraan menyambut Pemilu, kita juga harus mewaspadai potensi terjadinya politisasi SARA.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah menegaskan pentingnya menghindari politisasi SARA dalam proses pemilu. Mereka menggarisbawahi bahwa politisasi SARA adalah tindakan yang merugikan dan dapat memecah belah bangsa, sehingga harus dihindari dengan segala cara.
Presiden Joko Widodo menekankan bahwa pemilu seharusnya dianggap sebagai pesta demokrasi yang membawa kegembiraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, kegembiraan ini harus dijaga dari pengaruh politisasi SARA yang dapat merusak keharmonisan dan persatuan di tengah masyarakat.
Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menekankan bahwa politisasi SARA merupakan kejahatan yang harus dihukum. Wapres menegaskan bahwa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa harus menjadi prioritas utama, dan politisasi SARA tidak boleh dibiarkan merajalela dalam setiap tahapan pemilu.
Politisasi SARA dalam konteks pemilu dapat merujuk pada berbagai tindakan, seperti penyebaran isu-isu sensitif yang berpotensi memicu konflik SARA. Hal ini dapat memicu polarisasi masyarakat dan mengganggu proses pemilu yang seharusnya berlangsung secara damai dan adil.
Penting untuk dipahami bahwa politisasi SARA bukan hanya masalah etika politik, tetapi mengancam stabilitas dan keberlanjutan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, upaya keras harus dilakukan oleh semua pihak, mulai dari pemerintah, Parpol, media massa, hingga masyarakat, untuk mencegah politisasi SARA pada pemilu.
Masyarakat berperan penting dalam menegakkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, dengan tidak mudah terprovokasi oleh isu SARA yang seringkali hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik sempit. Edukasi politik yang berkualitas dan peningkatan kesadaran akan pentingnya menjaga kerukunan antarsesama warga negara perlu terus ditingkatkan.
Di ranah hukum, KPU telah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Kampanye Pemilu Serentak Tahun 2024. Peraturan ini, yang merupakan bagian dari persiapan untuk Pemilu Serentak 2024, memiliki fokus utama pada larangan terhadap kampanye yang mengandung unsur SARA.
Ketika memasuki tahapan kampanye pemilu, pertanyaan tentang bagaimana melahirkan kampanye yang inklusif dan tanpa diskriminasi menjadi semakin penting. Peraturan KPU ini menandai upaya untuk mengarahkan proses kampanye ke arah yang lebih positif, meminimalisasi retorika yang memicu konflik, dan mendorong partisipasi politik yang lebih substansial.
Salah satu implikasi utama dari peraturan ini adalah perlunya para peserta kampanye untuk lebih berhati-hati dalam merumuskan pesan-pesan mereka. Tidak hanya harus memperhatikan kepatuhan hukum, tetapi juga memahami dampak sosial dari setiap pernyataan yang mereka buat. Peraturan ini mengirimkan sinyal kuat bahwa SARA tidak boleh menjadi bagian dari strategi kampanye yang sah.
Terdapat tantangan tersendiri dalam mengimplementasikan aturan larangan penggunaan isu SARA di Pemilu 2024, dan ini menjadi perhatian utama. Bagaimana menentukan batas-batas yang jelas antara apa yang dianggap sebagai “unsur SARA” dan apa yang masih dianggap sebagai ekspresi kebebasan berpendapat adalah tugas yang tidak mudah. Pada kenyataannya, pengawasan dan penegakan aturan tersebut akan menjadi aspek yang krusial dalam menjamin efektivitas peraturan tersebut.
Selain itu, sementara larangan terhadap unsur SARA adalah langkah yang positif, tetapi tidak boleh menghalangi pembahasan yang substansial tentang isu-isu yang penting bagi masyarakat. Pemilu adalah saat di mana berbagai masalah dan kebutuhan di masyarakat diajukan kepada para calon, dan pembatasan ini harus dijalankan dengan hati-hati agar tidak menghambat diskusi yang sehat.
Dalam mendukung pelaksanaan Pemilu bebas isu SARA, Bawaslu telah membentuk tim khusus untuk mengawasi potensi terjadinya politisasi SARA di Pemilu 2024. Tim ini akan fokus pada pengawasan terhadap media sosial dan kampanye di lapangan. Begitu pun juga dengan Polri yang telah menyatakan siap untuk menindak tegas pelaku politisasi SARA. Polri akan bekerja sama dengan Bawaslu dan KPU untuk mencegah terjadinya pelanggaran terkait SARA, khususnya pada masa-masa kampanye.
Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 juga memperkuat urgensi bagi pemangku kepentingan, termasuk partai politik, untuk mengarahkan kampanye mereka ke arah yang lebih substansial dan berbasis pada program-program konkret. Ini menunjukkan pergeseran penting dari kampanye yang terutama didasarkan pada emosi dan identitas ke kampanye yang lebih berorientasi pada kebijakan.
Dalam konteks yang lebih luas, peraturan ini juga menyoroti pentingnya pendidikan politik dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin berdasarkan pada integritas, kompetensi, dan visi mereka, bukan hanya faktor-faktor identitas. Pendidikan politik yang holistik dapat membantu mengubah paradigma masyarakat dalam memilih wakil mereka, dan upaya seperti peraturan ini hanya sebagian kecil dari upaya yang lebih besar untuk mewujudkannya.
Dengan menghindari politisasi SARA dalam proses pemilu, kita dapat membangun fondasi yang kokoh bagi demokrasi yang sehat dan berkembang di Indonesia. Saatnya bagi kita semua untuk bersatu dalam semangat kebangsaan dan melangkah bersama menuju masa depan yang lebih baik bagi negara kita.
)*Penulis adalah Praktisi Hukum dari Univ. Mulawarman