Hoaks Berbahaya Bagi Kehidupan Masyarakat
Oleh Alfred Hadi
Berita hoaks sangat mengerikan dan mampu membuat perpecahan di tengah masyarakat, misalnya terjadinya kerusuhan di Papua, yang awalnya ditenggarai karena ketersinggungan masyarakat Papua karena ujaran rasis kepada mahasiswa Papua oleh oknum tertentu di Surabaya dan Malang. Namun, kemarahan warga Papua juga dipicu oleh informasi-informasi hoaks, seperti yang disampaikan oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. Alhasil, banyak fasilitas umum yang rusak misalnya pembakaran gedung DPRD Papua Barat di Manokwari. Hal ini sangat memprihatikan, kita sebagai pengguna sosial media harus berhati-hati agar tidak ikut dalam menyebarkan berita hoaks yang dapat merusak keharmonisan kita sebagai bangsa dan negara.
Fenomena hoax telah terjadi sejak masa lampau. Namun, hoax beberapa tahun belakangan ini baru mengambil peran utama dalam panggung diskursus publik Indonesia. Sebetulnya hoaks punya akar sejarah yang panjang. Hoaks yang kini tercantum di Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan arti “berita bohong”.
Sebuah kebohongan bisa disebut sebagai hoaks apabila dibuat dengan sengaja agar dipercaya sebagai kebenaran. Kebohongan baru bisa disebut hoaks apabila keberadaannya memiliki tujuan tertentu, seperti misalnya untuk memengaruhi opini publik.
Hingga kini, eksistensi hoaks terus meningkat. Dari kabar palsu seperti entitas raksasa seperti Loch Ness, tembok China yang terlihat dari luar angkasa, hingga ribuan hoaks yang bertebaran di pemilihan umum presiden Amerika Serikat di tahun 2016. Semua hoaks tersebut punya tujuan masing-masing, dari sesederhana publisitas diri hingga tujuan yang amat genting seperti politik praktis sebuah negara adidaya.
Kemunculan internet semakin memperparah sirkulasi hoaks di dunia. Sama seperti meme, keberadaannya sangat mudah menyebar lewat media-media sosial. Apalagi biasanya konten hoaks memiliki isu yang tengah ramai di masyarakat dan menghebohkan, yang membuatnya sangat mudah memancing orang membagikannya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pernah mengungkapkan bahwa hoaks dan media sosial seperti vicious circle, atau lingkaran setan. “(Pengguna) media sosial pun sering mengutip situs hoaks. Berputar-putar di situ saja,” ujar Rudiantara. Dari situ langkah pencegahan mulai gencar dilakukan. Termasuk oleh Facebook dan Twitter sebagai pemilik platform yang membuat tim khusus untuk meminimalisasi keberadaannya.
Ditambah lagi dengan kemunculan media abal-abal yang sama sekali tak menerapkan standar jurnalisme. Peran media profesional yang seharusnya membawa kecerahan dalam sebuah persoalan yang simpang siur di masyarakat semakin lama semakin tergerus.
Masyarakat diimbaunya untuk tak mudah percaya kabar viral, apalagi bersumber dari media yang abal-abal. Masyarakat harus mengedepankan keingintahuan lebih, dan berfikir apakah berita ini benar adanya. Masyarakat juga bisa mengecek kebenaran informasinya, salah satunya dengan melihat berbagai media yang dapat dipercaya. Artinya mengedepankan prinsip-prinsip jurnalisme yang baik, mengedepankan fakta dan kebenaran.
*) Penulis adalah pegiat di Pertiwi Media