Ijtima Ulama 4, Acara Sia-Sia Mencari Simpati
Oleh : Muhammad Ridwan )*
Bertemunya Prabowo dengan Jokowi di MRT jelas masih terngiang di kepala masyarakat Indonesia, bagaimana tidak keduanya seakan bertemu seperti seorang sahabat lama, keduanya tersenyum dan keduanya pun berujar bahwa saat ini tidak ada cebong atau kampret. Pernyataan tersebut tentu cukup menyejukkan telinga masyarakat Indonesia yang menginginkan perdamaian diantara keduanya,
Namun permasalahan pasca rekonsiliasi ternyata juga muncul dari beberapa simpatisan pendukung Prabowo, yakni PA 212 yang menganggap bahwa pertemuan Prabowo dengan Jokowi dinilai kurang beradab.
Juru Bicara PA 212 Novel Bakmumin, secara tegas menyatakan menolak rekonsiliasi tersebut. Ia juga mengatakan bahwa pihaknya tidak lagi berkomunikasi dengan Prabowo sejak 28 Juni lalu, selepas putusan sengketa pemilihan presiden oleh Mahkamah Konstitusi.
Bahkan Novel juga menyatakan, ada kemungkinan Prabowo mendapatkan masukan dari pihak – pihak yang semestinya tidak didengarkan.
Pernyataan itu hanyalah kemungkinan, namun jika kemungkinan itu benar, tentu ada semacam cacat logika jika pertemuan antara Prabowo dan Jokowi dianggap kurang beradab, lagian tujuan pertemuan itu karena keduanya adalah teman karib, rivalitas keduanya hanya berada di panggung panggung politik, diluar itu keduanya tetap berteman dan berkomunikasi dengan baik.
Jika perbuatan Prabowo dianggap kurang beradab oleh PA 212, lantas apakah dengan terus menunda rekonsiliasi merupakan sesuatu yang beradab, apakah dengan menebar kebencian dan fitnah merupakan sesuatu yang beradab, apakah pemeliharaan cebong dan kampret juga sesuatu yang beradab?
Dalam hal ini PA 212 merasa kecewa akan kedamaian antara kedua mantan capres yang bertarung, hal ini tentu menjadi dasar yang kuat bagi masyarakat Indonesia untuk menolak adanya Ijtima Ulama 4, karena seluruh drama pilpres telah berakhir happy ending.
PR terbesar Indonesia pasca pemilu adalah merajut persatuan antar masyarkat yang sempat terbelah, tak ada lagi perdebatan antara 01 dan 02 ditempat kerja ataupun di lingkungan masyarakat, semua kembali bekerja sesuai dengan keilmuannya masing – masing.
Hal ini menunjukkan bahwa Prabowo berada dalam 2 sisi yang sama – sama beresiko, pertama jika ia tak kunjung bertemu dengan Jokowi, maka dia akan dianggap sebagai sosok yang tidak legowo dan tidak cinta damai, namun ketika ia merajut kedamaian di MRT, suara – suara seperti goodbye Prabowo juga cukup santer di media.
Namun tentu mereka berdua harus mengedepankan kepentingan bangsa terlebih dahulu, pertemuan keduanya di MRT menunjukkan bahwa keduanya senantiasa melupakan gengsi politisnya, kalau pertemuan tersebut dilaksanakan di Istana negara, tentu jagat media sosial akan semakin geger dan akan memunculkan berita – berita yang semakin brutal.
Ijtima 4 bisa juga disebutkan sebagai bentuk ungkapan ekspresi dari pengusung yang merasa tidak sreg dengan junjungannya, mungkin nantinya dalam acara tersebut tidak hanya membahas perihal sikap para ulama yang mendukung 02 saja, melainkan juga membahas terkait habib rizieq yang tak pulang – pulang.
Oleh karena itu, Ijtima Ulama 4 tak perlu menjadi prioritas untuk dipikirkan, apalagi jika mereka memiliki rencana untuk menerapkan khilafah di Indonesia. Dengan menolak Khilafah bukan berarti masyarakat muslim di Indonesia menjadi auto kafir, karena memang khilafah tidak cocok diterapkan di negara yang bhineka seperti Indonesia.
Saat ini kita tentu bisa berasumsi bahwa Prabowo tidak ada dendam dengan Jokowi, ia dan para anggota partai Gerindra juga sudah merasa legowo atas kemenangan Jokowi, dan telah bersiap ambil peran sebagai oposisi. Bagaimanapun juga oposisi tentu dirasa penting agar pemerintahan berjalan seimbang.
Tuduhan pemilu curang ternyata tidak berhasil membuat MK menggeser kemenangan untuk Prabowo, jika memang PA 212 masih meyakini pemilu curang, tentu hal tersebut sudah terlambat, segala upaya BPN sudah dikerahkan untuk menggugat hasil KPU. Semoga gagaln paham kemenangan yang dialami oleh sebagian besar PA 212 dan afiliasinya segera sembuh.
Jika memang PA 212 merupakan pendukung loyal Prabowo, mestinya ia merasa legowo dan turut serta mengikuti arahan dari junjungannya untuk menjadi pihak oposisi yang siap mengkritisi kebijakan pemerintah. Tapi mungkin saja PA 212 masih nggak terima kalau junjungannya kalah dan tidak bisa menjemput Habib Riezieq.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik